Oleh : M. Luthfi Dharmawan
NIM : 111201056
NIM : 111201056
PENDAHULUAN
Sumber
daya alam yang ada saat ini menjadi salah satu pilar pembangunan Indonesia,
baik dari segi ekonomi maupun segi ekologi. Pertanian yang selama ini menjadi
komoditi utama Indonesia sehingga disebut sebagai negara agraris telah kurang
diminati dikarenakan sifatnya yang mudah rusak dan tidak terlalu baik jika
menggunakan bahan pengawet dikarenakan dapat merusak kesehatan bagi siapapun
yang mengonsumsinya secara berlebihan. Bidang kehutanan menjadi alternatif lain
dalam menggerakkan perekonomian. Kayu yang selama ini menjadi primadona, saat
ini mulai dibatasi produksinya terkait dengan isu lingkungan yang ada.
Hasil
hutan bukan kayu (HHBK) saat ini mulai dilirik. Hal ini dikarenakan hasil hutan
bukan kayu mudah dipanen, tidak terlalu berdampak negatif pada lingkungan, dan
prospek kedepan yang sangat menjanjikan. Meskipun hasil hutan bukan kayu dapat
diambil tanpa merusak lingkungan, hasil hutan bukan kayu ini juga harus
dibudidayakan agar keberadaan tanaman yang diminati tidak hilang akibat
eksploitasi secara terus menerus. Hal ini menyebabkan adanya pengelolaan yang
berbeda dengan menggunakan sistem perkebunan, dimana jika ingin mendapatkan
tanaman yang diinginkan harus menanam, merawat dan memanen sendiri sehingga tanaman
tersebut bisa didapatkan dalam jumlah dan kualitas yang diinginkan.
Salah
satu tanaman kehutanan yang termasuk hasil hutan bukan kayu yang menggunakan
sistem ini adalah Gaharu (Aquilaria moluccensis). Prospek yang
menjanjikan dari pengusahaan gaharu ini menarik perhatian banyak kalangan, sehingga
dewasa ini gaharu sangat dicari-cari dan pembudidayaan gaharu menjadi melonjak.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum dan
Budidaya Gaharu
Ada beberapa jenis pohon gaharu yang
berpotensi untuk memproduksi gubal dan sudah banyak dieksplorasi. Jenis pohon
gaharu tersebut antara lain Aquilaria sp, Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan
Gonsystylus yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan
Papua (Sidiyasa &
Suharti, 1987).
Adapun sistematika gaharu sebagai
berikut:
Kingdom :
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi :
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo :
Myrtales
Spesies :
Aquilaria moluccensis Oken
Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang harganya lebih tinggi dibandingkan HHBK lainnya.
Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan
obat-obatan sehingga gaharu bisa dikatakan sebagai salah satu jenis komoditi
HHBK yang memiliki nilai multiguna (Sumarna, 2002).
Dalam bisnis gaharu, yang dipanen dan
dimanfaatkan untuk dijual ke pasaran adalah gubal gaharu. Gubal gaharu ini
diperoleh dari infeksi cendawan yang disuntikkan ke dalam pohon gaharu pada
usia muda. Cendawan yang disuntikkan untuk pembentukan gubal gaharu adalah dari
jenis Fusarium. Dengan intensitas dan jangka waktu tertentu, gubal gaharu akan
terinfeksi dan menghasilkan gubal yang berkualitas dan wangi.
Gubal gaharu adalah bagian dari pohon
yang terinfeksicendawan, berwarna coklat kehitaman dan harum baunya bila
dibakar. Santoso et al., (2007) menduga bahwa terbentuknya gaharu berkaitan
dengan gejala patologis. Serangan patogen menyebabkan terbentuknya resin yang
terdeposit pada jaringan kayu, akibatnya jaringan kayu mengeras, berwarna
kehitaman dan berbau wangi (Zubair, 2008).
Gubal gaharu yang banyak diperdagangkan
adalah gubal yang terbentuk secara alami, sehingga untuk mendapatkannya para
pemburu menebang pohon gaharu yang tumbuh di hutan dan berakibat pada penurunan
populasi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknologi inokulasi buatan dengan
cendawan potensial yang dapat menginduksi pembentukan gubal yang lebih cepat.
Gaharu
yang dipanen adalah gaharu yang sudah mengandung gubal gaharu. Tandanya
mengaluarkan bau harum, terutama bila dibakar, asapnya akan mengeluarkan bau
harum yang menjadi ciri khas bau gubal gaharu. Tanda-tanda morfologis tanaman
gaharu yang siap dipanen dari hasil inokulasi adalah: (a) Kulit batangnya di
sekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman, rapuh, apabila ditarik
mudah putus, berbeda dengan pohon sehat yang mempunyai kulit batang sangat
ulet; (b) Jaringan di sekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman atau
hitam, jika bagian yang berwarna hitam diambil dan dibakar akan mengeluarkan
bau harum; (c) Batang yang sudah diinokulasi ditumbuhi tunas adventif dalam
jumlah yang cukup banyak (lebih dari 40 tunas); dan (d) Kanopi pohon yang
mempunyai tanda-tanda seperti merana, atau daunnya banyak yang menguning dan
mengalami kerontokan, sehingga menyebabkan beberapa ranting tidak berdaun
(Mulyaningsih dan Paman, 2003).
Pemanenan gaharu dapat dilakukan dengan
dua sistem, yaitu panen habis (tebang) dan panen pilih (bertahap). Sistem panen
habis, artinya pohon gaharu dipanen dengan cara ditebang; sedangkan sistem
panen pilih, bagian pohon gaharu yang diperkirakan mengandung gubal dipanen
dengan cara digergaji dan dipat (dicungkil), sedangkan bagian lain
dibiarkan hidup sampai mengandung gubal gaharu.
Pada saat
dilakukan pengupasan dan pengerukan, biasanya langsung dilakukan sortasi dan
pengklasifikasian gubal gaharu, kemedangan dan abu gaharu. Biasanya gubal
gaharu dipilahkan menjadi 4 kelas, yaitu kelas Super (A), Kelas I, II dan Kelas
III. Kemudian dilanjutkan dengan pengklasifikasian kemedangan menjadi 7 kelas
(dari kelas I sampai kelas VII) dan abu gaharu menjadi 4 kelas sesuai dengan
kelas gubal gaharu, yaitu kelas Super, I, II dan kelas III. Pengklasifikasian
gubal, kemedangan dan bubuk gaharu yang dilakukan oleh para pedagang gaharu di
Pulau Lombok relatif sama sebagaimana pengklasifikasian menurut Standar
Nasional Indonesia.
Setelah
dilakukan pengklasifikasian, maka dilakukan pengeringan dengan maksud agar
kualitas gaharu dapat dipertahankan. Proses pengeringan dilakukan secara
hati-hati, karena bila prosesnya keliru akan menyebabkan terjadinya penguapan
senyawa volatil yang terkandung dalam gubal dan memudarnya warna gubal yang
berakibat terhadap penurunan kualitas gaharu. Pengeringan gaharu dapat dilakukan
dengan cara mengering anginkan atau mengovennya pada suhu antara 38 – 40oC
selama 24 jam. Pada suhu tersebut senyawa yang terdapat di dalam gubal aman.
Apabila suhu melebihi 40oC, dalam waktu 12 jam saja senyawa volatil
yang terdapat di dalam gubal akan keluar, dengan indikator gubal tersebut akan
mengeluarkan bau harum. Gubal gaharu yang telah kering disimpan pada tempat
yang kering atau langsung dijual, karena penyimpanan gubal pada tempat yang
lembab dapat menurunkan kualitas gubal.
Keunggulan dan
Permasalahan
Hampir
semua bagian tanaman gaharu bermanfaat dan bernilai ekonomi, seperti daun dan
buah gaharu jadi bahan baku pengganti teh yang berkhasiat sebagai obat, dan
pada masyarakat lokal diinformasikan sebagai obat malaria; kulit batang gaharu
juga ternyata dapat dijadikan tali penarik atau pengikat yang sangat kuat. Dari
segi harga, gubal gaharu dapat bernilai minimal Rp 700.000/kg untuk kualitas
yang paling jelek dan >Rp 10 juta/kg untuk kualitas yang baik. Bahkan harga
gubal bisa mencapai harga Rp 400 juta. Ini sangat menarik perhatian bagi
siapapun yang mencoba mencari keuntungan dari berbisnis gaharu.
Produk
utama dari pengusahaan tanaman gaharu adalah gubal gaharu, kemedangan dan abu
gaharu. Gubal gaharu biasanya langsung dikonsumsi atau langsung dipakai sebagai
pengharum ruangan atau pengharum pakaian. Belakangan ini diinformasikan gubal
gaharu juga dijadikan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan obat, kosmetik,
parfum dan minyak gaharu. Sementara produk tanaman gaharu berupa kemedangan,
juga dijadikan bahan dasar sebagaimana gubal gaharu tapi dengan kualitas yang
lebih rendah. Hasil transformasi abu gaharu tersebut adalah: minyak gaharu,
hio, setanggi atau dupa atau ratus, pengharum pakaian (semacam kanfer).
Usaha
pembibitan gaharu membutuhkan waktu yang relatif lama sejak persemaian sampai
siap ditanam, yaitu minimal 8 bulan; bahkan ada yang sampai 2 tahun. Tapi yang
dijual ke luar daerah atau yang dikirim ke luar negeri biasanya masih dalam
bentuk kecambah yang dikemas dengan menggunakan pampers agar terjaga
kelembabannya. Harga bibit yang langsung diambil dari pengusaha bibit berkisar
antara Rp. 1.000 - 5.000 per pohon tergantung umur dan besarnya; sedangkan
kecambah gaharu yang sudah dikemas yang dijual ke luar daerah atau ke luar
negeri berkisar antara Rp. 1.000 -1.500 per kecambah di luar ongkos kirim.
Selain itu, Fusarium sebagai bahan utama
pembentukan gubal gaharu sangat mahal dipasaran. Sehingga biaya perawatan dan
pengelolaan cenderung tinggi. Meskipun telah dibuat Fusarium buatan dengan
harga yang lebih murah, namun kurang menghasilkan gubal yang berkualitas sama
seperti Fusarium alami.
KESIMPULAN
Gaharu sebagai komoditi Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) dengan harga tertinggi dan prospek yang sangat menjanjikan. Bagian
Tanaman Gaharu yang ada dapat dimanfaatkan, baik itu daun, buah, maupun kayu.
Namun bagian tanaman Gaharu yang paling banyak dimanfaatkan dan yang bernilai
tinggi adalah Gubal Gaharu. Gubal Gaharu memiliki banyak manfaat terutama dalam
pembuatan parfum atau wewangian, kosmetik, dan guna lainnya.
Waktu penanaman menjadi kendala dalam pemanfaatan
gaharu. Waktu dari biji sampai menjadi semai memakan waktu minimal 8 bulan dan
bahkan ada yang mencapai 2 tahun, belum lagi waktu tumbuh setelah ditanam di
lapangan hingga dipanen. Selain itu,
biaya perawatan dan pengelolaan gaharu juga tinggi. Hal ini disebabkan harga
Fusarium yang mahal dan perawatan yang cenderung susah.
Oleh karena itu, untuk memajukan sektor
usaha ini harus meminimalisir waktu dengan teknologi yang ada sehingga waktu
panen dapat dipersingkat. Fusarium sebagai bahan utama juga harus diteliti lagi
untuk mendapatkan Fusarium yang lebih berkualitas sama dengan yang alami dan
dengan harga yang lebih terjangkau.
0 komentar:
Posting Komentar