Oleh : Johanna Siagian
NIM : 111201042
NIM : 111201042
GAMBARAN
UMUM BISNIS
Beras merupakan komoditas strategis
berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi
basis utama dalam revitalisiasi pertanian ke depan. Sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk, kebutuhan beras dalam periode 2005-2025 diproyeksikan masih
akan terus meningkat. Kalau pada tahun 2005 kebutuhan beras setara 52,8 juta
ton gabah kering giling (GKG), maka pada tahun 2025 kebutuhan tersebut
diproyeksikan sebesar 65,9 juta ton GKG.
Pemerintah berkeinginan
mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Peningkatan produktivitas
padi 1,5% per tahun dengan indeks panen 1,52 diperkirakan dapat mempertahankan
swasembada beras hingga tahun 2025. Untuk mencapai sasaran tersebut Badan
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah dan akan menghasilkan
varietas unggul padi hibrida dan padi tipe baru. Varietas-varietas unggul yang
berdaya hasil tinggi ini diharapkan dapat diaktualisasikan potensi genetiknya
melalui pengembangan teknologi budi daya dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman
dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Strategi yang dapat ditempuh dalam
meningkatkan produksi padi nasional adalah: (1) mendorong sinergi
antarsubsistem agri-bisnis; (2) meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya,
modal, teknologi, dan pasar; (3) mendorong peningkatan produktivitas melalui
inovasi baru; (4) memberikan insentif berusaha; (5) men-dorong diversifikasi
produksi; (6) mendorong partisipasi aktif seluruh stakeholder; (7) pemberdayaan
petani dan masyarakat; (8) pengem-bangan kelembagaan (kelembagaan produksi dan
penanganan pascapanen, irigasi, koperasi, lumbung pangan desa, keuangan dan
penyuluhan).
Kebijakan pengembangan padi
diarahkan pada: (1) pembangun-an dan pengembangan kawasan agribisnis padi yang
modern, tangguh, dan pemberian jaminan kehidupan yang lebih baik bagi petani;
(2) peningkatan efisiensi usahatani melalui inovasi unggul dan berdaya saing;
(3) pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, efisien dan
produktif serta berkelanjutan yang dapat mendukung ketahanan ekonomi dan
pelestarian lingkungan; (4) pemberdayaan petani dan masyarakat pedesaan; dan
(5) pengembangan kelembagaan dan kemitraan yang modern, tangguh, efisien, dan
produktif.
Program yang dicanangkan meliputi
(1) pengembangan sarana dan prasarana, (2) pengembangan sistem perbenihan, (3)
akselerasi peningkatan produktivitas (intensifikasi), (4) perluasan areal tanam
(ekstensifikasi), (5) pengembangan sistem perlindungan, (6) peng-olahan dan
pemasaran hasil, (7) pengembangan kelembagaan, dan (8) pemantapan manajemen
pembangunan pertanian.
Upaya peningkatan produksi padi guna
mempertahankan swa-sembada sampai tahun 2025 membutuhkan iUpaya peningkatan
produksi padi guna mempertahankan swa-sembada sampai tahun 2025 membutuhkan
investasi sebesar Rp.85,4 trilyun untuk pengembangan dan perluasan adopsi
teknologi (varietas dan pendekatan budidaya). Dukungan kebijakan pemerintah
terhadap pelaku agribisnis padi, baik masyarakat (petani) maupun swasta, akan
mempercepat upaya peningkatan investasi.
Padi adalah salah
satu tanaman
budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun
terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu
pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi
dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia,
setelah jagung
dan gandum.
Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk
dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras.
Perkembangan
Luas Areal
Pusat penanaman
padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura,
Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi
mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi
nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi
nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi
Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang
berarti.
Departemen
Pertanian (Deptan) menyediakan lebih dari 220 ribu ton benih padi untuk musim
tanam (MT) 2008/2009 atau periode Oktober 2008-Maret 2009. Dari benih padi
sebanyak 220.373,52 ton itu, terdiri benih bersertifikat 121.667,06 ton dan
benih non-sertifikat yang disediakan sendiri oleh petani sebanyak 98.706,46
ribu ton.“Benih bersertifikat disediakan melalui bantuan pemerintah dan pasar
bebas baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi,” ujar Dirjen Tanaman Pangan
Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso di Jakarta kemarin.
Dijelaskan, dengan sasaran tanam padi seluas 7,79 hektar, maka pada periode Oktober 2008-Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 194.823,23 ton. Dengan demikian, penyediaan benih padi pada periode tersebut terdapat surplus 25.594,77 ton atau 13,11% dari kebutuhan.
Dijelaskan, dengan sasaran tanam padi seluas 7,79 hektar, maka pada periode Oktober 2008-Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 194.823,23 ton. Dengan demikian, penyediaan benih padi pada periode tersebut terdapat surplus 25.594,77 ton atau 13,11% dari kebutuhan.
Dikatakan,
selama Masa Tanam 2008/2009 sasaran luas tanam terbesar pada Desember 2008
yakni 2,20 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 55.080,88 ton.
Sedangkan jumlah penyediaan benih mencapai 61.139,77 ton. Kemudian Januari 2009
mencapai 1,55 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 38.795,68 ton dan
penyediaan 43.839,11 ton. November 2008 diperkirakan kebutuhan benih potensial
mencapai 33.650,60 ton untuk sasaran tanam 1,34 juta hektar dengan jumlah
penyediaan sekitar 37.688,67 ton.
Sementara Maret
2009 kebutuhan benih potensial mencapai 35.886,98 ton untuk sasaran tanam 1,03
juta hektar dengan jumlah penyediaan 31.064,37 ton. Sisanya yakni untuk Oktober
2008 dan Februari 2009 dengan sasaran tanam masing-masing di bawah 1 juta
hektar. “Varietas-varietas yang tersedia yakni Ciherang, IR 64, Cigeulis,
Ciliwung, Cobogo dan lain- lain.
(http://www.kr.co.id, 2009)
Perkembangan
Produksi
Revolusi Hijau
dan revolusi bibit-bibitan mulai diperkenalkan sekitar tahun 1960-an di
berbagai negara berkembang. Tahun 1962 misalnya, di Indonesia diperkenalkan
jenis padi baru produk dari Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI:
International Rice Research Institute) di Philipina. Padi jenis baru yang dikenal
dengan nama PB 8 ini adalah hasil persilangan generasi ke-8 dari 38 persilangan
antara jenis padi sedang dan jenis padi unggul PETA asal Indonesia.
Keunggulan
jenis baru ini dapat hidup di berbagai ketinggian karena tidak sensitif
terhadap fotosintesis, juga tidak mengenal musim. Batang dan pelepahnya kuat,
tumbuhnya kokoh pada nitrogen tinggi, maka kuat menopang untaian bulir-bulir.
Satu hektar sawah dapat menghasilkan 10 ton gabah, bandingkan dengan pertanian
tradisional yang "cuma" menghasilkan 5 @ 6 ton gabah per hektar.
Kemudian
diperkenalkan jenis-jenis padi unggul lainnya. Penyebaran bibit-bibit unggul
begitu pesatnya, di tahun 1974 sekitar 54% sawah basah di seluruh Indonesia
sudah di-"Revolusi Hijau"-kan. Sepuluh tahun kemudian menjadi 67% dan
pada tahun 1975 varietas unggul telah memenuhi lebih dari 74% lahan sawah basah
di Indonesia. Penanaman padi tradisional tersingkir ke pinggir. Bahwasanya padi
tradisional masih bisa eksis, itu hanya berkat kemampuan varietas tradisional
ini untuk tumbuh di tanah-tanah yang tinggi (pegunungan), di areal rawa-rawa
berair dalam dan lahan-lahan yang kurang sesuai untuk padi teknologi baru.
Teknologi
Revolusi Hijau paling cocok pada sawah dataran rendah, karenanya di areal ini
varietas tradisonal tidak punya hidup lagi. Persilangan-persilangan jenis padi
tidak hanya terjadi di Phlipina, juga di Indonesia sendiri terjadi penyilangan
padi. Padi-padi silang yang dihasilkan di Indonesia diberi nama-nama sungai
atau nama-nama gunung seperti Cisedane, Cimandiri, Citarum, Semeru,
Sadang, Krueng Aceh.
Tiga jenis padi
silang yang membawa Indonesia ke tingkat swasembada beras adalah padi IR 36,
Cisedane dan Krueng Aceh. Panen 3 jenis padi ini berhasil meningkatkan produksi
lebih dari 49% di tahun 1979 sampai 1985. Malangnya kemudian terjadi lagi wabah
wereng coklat yang menyerang sekitar 100.000 hektar sawah yang ditanami
jenis-jenis padi unggul tersebut. Di belakang hari masih ditemukan bibit unggul
baru yang dikenal dengan padi IR 64. Namun bersamaan dengan munculnya padi
jenis-jenis baru, muncul pula jenis hama-hama baru. Maka manusiapun menciptakan
jenis pestisida baru untuk membunuh hama-hama baru tersebut. Itulah mata rantai
yang terjadi akibat Revolusi Hijau.
Penanaman
bibit-bibit unggul jenis baru, jelas menuntut perubahan praktek bertani. Sistem
pertanian tradisional tidak cocok lagi untuk menanam bibit-bibit unggul. Hanya
dalam kurun waktu 20 tahun saja, sistem pertanian tradisional telah digantikan
oleh model baru yang meningkatkan kerawanan-kerawanan. Tetapi dapat menyebabkan
rusaknya keseimbangan ekosistem, rusaknya tanah, pencemaran makanan, juga
munculnya hama-hama tanaman jenis baru. Akibat hama wereng kerugian mencapai
500 juta US $ atau setara dengan panen sekitar 3 juta ton. Situasi itu
memunculkan penemuan IRRI jenis baru IR 36 dan IR 38 yang tahan hama wereng
coklat, sehingga di tahun 1977 hasil panen nasional dapat dikembalikan ke
tingkat semula (Sugeng, 2001).
Penyebaran
Produksi di Indonesia
Pusat penanaman
padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura,
Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi
mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi
nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi
nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi
Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang
berarti.
Produksi padi
nasional sampai Desember 1997 adalah 46.591.874 ton yang meliputi areal panen 9.881.764
ha. Karena pemeliharaan yang kurang intensif, hasil padi gogo hanya 1-3 ton/ha,
sedangkan dengan kultur teknis yang baik hasil padi sawah mencapai 6 – 7
ton/ha.
Tabel
Penyebaran Produksi Padi di Indonesia
No.
|
Daerah
|
Luas Panen Padi Sawah
(x 1.000 ha)
|
Luas Panen Padi Ladang (x 1.000 ha)
|
1.
|
Jawa
|
3.786
|
403
|
2.
|
Sumatera
|
1.168
|
708
|
3.
|
Kalimantan
|
448
|
270
|
4.
|
Bali – Nusatenggara
|
335
|
132
|
5.
|
Maluku – Irian Jaya
|
-
|
5
|
(Sumber :
BPP Teknologi dan MiG-6 Plus / Teguh Rahayu).
Agribisnis hulu
mencakup semua kegiatan bisnis/usaha untuk memproduksi dan menyalurkan
input-input pertanian. Kegiatan-kegiatan ini meliputi antara lain: membuat dan
menjual keperluan pertanian (pupuk organik, pestisida organik, pakan ternak,
dan lain-lain), pengadaan dan menjual bibit unggul, dan lain-lain.
Sedangkan
agribisnis hilir sering disebut agroindustri adalah kegiatan industri atau
pengolahan bahan makanan atau makanan yang menggunakan bahan baku hasil-hasil
pertanian. Di samping itu juga kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan
hasil-hasil pertanian.
Pengolahan
hasil pertanian adalah melakukan proses pembuatan bahan makanan atau makanan
dengan bahan baku hasil tanaman atau ternak. Bahan makanan dapat dimakan harus
diolah lagi, tetapi makanan dapat langsung dimakan. Contoh hasil pertanian
diolah menjadi bahan makanan adalah: singkong menjadi tepung (tapioka, kasava,
lainnya), kelapa menjadi minyak, buah marquisa menjadi sirup, ketan/beras
menjadi tepung, daging menjadi dendeng, dan lain-lain. Sedangkan contoh hasil pertanian
diolah menjadi makanan adalah singkong diolah menjadi
kripik/tape/lemet/singkong goreng/lainnya, ketan menjadi
uli/tape/lemper/lainnya, sagu menjadi bagea, daging menjadi abon, dan
lain-lain.
Dalam proses produksi (baik biologis
atau teknis) senantiasa disertai oleh produksi limbah dan hasil samping karena
terjadi transformasi input menjadi output (bahan baku ke produk). Proses
transformasi dalam semua sistem tidak terjadi secara sempurna tetapi dengan
tingkat efisiensi tertentu. Dalam produksi pertanian, efisiensi berkisar pada
rentang 5-40 persen. Hal ini terjadi pada indutri pengolahan padi, selain
menghasilkan beras juga limbah (sekam dan dedak) dan hasil samping (menir).
Industri
pengolahan padi (sederhana, kecil, menengah dan besar) menghadapi permasalahan
penanganan limbah. Hampir semua penggilingan padi menumpuk sekam di sekitar bangunan. Semakin hari jumlahnya
bertambah. Pembuangan sulit dilakukan karena keterbatasan tempat dan biaya yang
besar. Penggunaan untuk bahan bakar (bata, pengering) masih sangat terbatas.
Akibatnya, muncul berbagai persoalan lingkungan seperti estetika, bau dan
sumber penyakit.
MASALAH-MASALAH
UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI
Agribisnis merupakan paradigma baru bagi
sektor pertanian. Sistem agribisnis tidak hanya berhubungan dengan kegiatan
usahatanai (sub-sistem on-farm) saja, namun juga terkait dengan
sub-sistem off-farm (baik hulu maupun hilir) serta sub-sistem penunjang.
Pengembangan sistem agribisnis secara
parsial merupakan hal yang dapat menimbulkan permasalahan baru lainnya. Secara
ketersediaan sumberdaya, Indonesia memiliki potensi agribisnis yang sangat
besar, baik di daratan maupun lautan. Sayangnya potensi yang besar ini belum
dapat termanfaatkan dengan baik dikarenakan beberapa masalah besar yang
dihadapi, yaitu:
1. Penguasaan
asset produksi dan skala usaha petani yang sangat kecil serta
kemampuan
permodalan usaha yang rendah
2. Ketersediaan
infrastruktur yang minim, terutama di luar Jawa, baik terkait dalam pengadaan
input produksi, proses produksi, maupun paska produksi (pengolahan dan
pemasaran).
3. Produktivitas
dan kualitas produk yang masih rendah dikarenakan pengusahaan yang tradisional
dan belum menggunakan teknologi secara tepat
4. Posisi
rebut tawar (bargaining position) petani yang lemah dalam memperoleh
nilai jual yang menggairahkan usahanya.
5. Belum adanya kebijakan terpadu dari
pemerintah yang mendukung berkembangnya agribisnis di Indonesia.
Khususnya terkait dengan sub-sistem
pendukung, pengembangan sistem agribisnis tidak lepas dari berbagai kebijakan
pemerintah yang terkait. Sayangnya penentuan kebijakan dan berbagai bentuk
pendukung pengembagan sistem agribisnis ini tersekatsekat ke dalam berbagai
instansi. Dalam kondisi seperti ini pemerintah bukannya menjadi solusi tapi
justru menjadi sumber permasalahan.
PROSPEK/
PELUANG-PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
Asumsi yang digunakan untuk menghitung
proyeksi permintaan beras disajikan pada Tabel 2. Dengan perhitungan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun, jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2025 lebih dari 296 juta, 58% di antaranya terkonsentrasi di Jawa dan
21,3% di Sumatera. Sebenarnya, dengan elastisitas pendapatan dan harga yang kurang
dari satu, konsumsi beras per kapita turun dari 114,1 kg pada tahun 2003
menjadi 111,1 kg pada tahun 2010, dan 105,0 kg pada tahun 20252).
Namun, karena laju pertumbuhan penduduk
lebih tinggi dari laju penurunan konsumsi maka jumlah permintaan pangan tetap
meningkat. Kalau permintaan industri diperhitungkan sebesar 23,5% dari
permintaan rumah tangga dan permintaan lainnya (stok) sebesar 10%3), maka
kebutuhan beras pada tahun 2010 lebih dari 35 juta ton dan pada tahun 2025
lebih dari 41 juta ton, atau meningkat masing-masing 8% dan 27% dari permintaan
pada tahun 2003 (Tabel 3).
Tabel 2. Asumsi yang digunakan untuk proyeksi permintaan
beras.
Parameter
|
Kota
|
Desa
|
1. Pertumbuhan penduduk (%/thn)
|
1,49
|
1,49
|
2.
Elastisitas :
a. Pendapatan
b. Harga
|
0,465
-0,564
|
0,722
-0,564
|
3.
Pertumbuhan
a. Pendapatan
b. Harga
|
5,0
5,0
|
3,5
5,0
|
4. Permintaan
antara (% dari kons. RT)
|
23,5
|
23,5
|
5. Permintaan
lainnya (a.l. stok)
|
10
|
10
|
6. Konversi
GKG – beras (%)
|
63
|
63
|
Keterangan:
1. BPS (2001),
dianggap sama dengan pertumbuhan periode 1990-2000
2. Harianto
(2001)
3. Suryana dan Hermanto (2004)
Tabel 3. Permintaan beras dalam periode
2005 - 2025, menurut wilayah (000 ton).
Wilayah
|
2003
|
2005
|
2010
|
2015
|
2020
|
2025
|
Sumatera
|
7.433
|
7.601
|
8.037
|
8.499
|
8.987
|
9.504
|
Jawa
|
18.611
|
19.019
|
20.081
|
21.202
|
22.386
|
23.637
|
Bali & Nusteng
|
1.961
|
2.005
|
2.120
|
2.242
|
2.371
|
2.507
|
Kalimantan
|
1.798
|
1.838
|
1.944
|
2.055
|
2.173
|
2.298
|
Sulawesi
|
2.362
|
2.416
|
2.556
|
2.704
|
2.862
|
3.028
|
Maluku & Papua
|
399
|
408
|
432
|
457
|
484
|
512
|
Indonesia
|
32.563 (52.138)
|
33.287 (52.837)
|
35.170 (55.825)
|
37.160 (58.984)
|
39.263 (62.323)
|
41.487 (65.852)
|
Dengan skenario swasembada absolut
(kecukupan 100%) yang digunakan, maka untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun
2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan peningkatan produksi padi
berturut-turut sebesar 0,6 juta ton (1,3%); 3,7 juta ton (7,1%); 6,8 juta ton
(13,1%); 10,2 juta ton (26,3%); dan 13,7 juta ton GKG (26,3%) dari produksi
tahun 2003.
Kalau skenario swasembada ontrend
(kecukupan 95%) yang digunakan , yaitu mentoleransi impor beras sebesar 5% maka
untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan
peningkatan produksi berturut-turut sebesar 0,9 juta ton (1,7%); 3,8 juta ton
(7,5%); 7,1 juta ton (13,6%); dan 10,4 juta ton GKG (20%).
Sulawesi dan Kalimantan mampu memenuhi
kebutuhan pangan sendiri hingga tahun 2025, bahkan diperkirakan berpeluang
mencapai swasembada absolut. Sebaliknya, Jawa akan menjadi beban bagi daerah
lain untuk memenuhi kebutuhan beras. Bilamana impor beras sebanyak 5%
dimungkinkan, maka Jawa masih harus mendatangkan2,1 juta ton GKG pada tahun
2010; 3,8 juta ton pada tahun 2015; 5,6 juta ton pada tahun 2020; dan 7,5 juta
ton pada tahun 2025.
Ke depan, permintaan beras tidak hanya
menyangkut aspek kuantitas, tetapi juga kualitas, nilai gizi, aspek sosial
budaya di masingmasing daerah, dan perkembangan teknologi agroindustri (http://agri-research.or.id,
2009).
GDP (Gross
Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto dalam Bahasa Indonesia, adalah satu
dari beberapa indikator yang mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi.
Gross atau
kotor dapat diartikan sebagai nilai depresiasi dari barang modal (Capital
Stock) yang tidak dimasukan dalam perhitungan. Konsumsi dan Investasi dalam
persamaan diatas adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli barang dan
jasa akhir (siap pakai). Ekspor dikurangi impor (juga dikenal sebagai ekspor
bersih) melalui persamaan ini dapat diartikan sebagaiselisih dari nilai
barang yang diproduksi didalam negeri tetapi tidak dikonsumsi di dalam negeri
dikurangi dengan nilai barang yang ada yang dikonsumsi buatan luar negeri
(import) (www.wikipedia.org, 2009).
SARAN
Dalam kondisi tidak efektifnya sub-sistem
pendukung agribisnis yang dimotori oleh pemerintah, maka mau tidak mau para
petani harus mampu memperjuangkan berbagai kepentingan mereka sendiri.
Pengalaman di berbagai negara maju menujukkan bahwa koperasi pertanian
merupakan wadah yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan petani ini.
Melalui koperasi diharapkan petani mampu
mewujudkan kekuatan penyeimbang (coutervailing power) terhadap berbagai
iklim usaha yang selama ini merugikan mereka, melakukan pengembangan pasar
input dan output yang lebih menguntungkan, memperbaiki efisiensi produksi dan
pemasaran, lebih baik dalam mengendalikan resiko, serta menjamin kelangsungan
usaha dan meningkatkan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, A., 2002. Budidaya Padi Secara
Organik. Penebar Swadaya, Jakarta.
http://agri-research.or.id., 2009. Komoditas Pasca Panen. Diakses pada tanggal 24 Juni
2013.
http://arsip.pontianakpost.com., 2009. Subsistem Agribisnis. Diakses pada tanggal 24 Juni
2013.
http://www.kr.co.id., 2009. Agribisnis Padi. Diakses
Tanggal 24 Juni 2013.
http://www.pemasaran
padi.com., 2009. Padi. Diakses pada tanggal 24 Juni
2013.
Sugeng, H. R., 2001. Bercocok Tanam Padi. CV Aneka Ilmu,
Semarang.
0 komentar:
Posting Komentar