Nama : Lestari Marbun
NIM : 111201065
NIM : 111201065
BAB I
PENDAHULUAN
Gambaran Umum
Gaharu
berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat
(tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh
dengan cara fumigasi dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu
dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan
produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia
ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang
Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan
pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah
kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang
berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu
mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007). Gaharu adalah
salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi
digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya
persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin
dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas mutu tertinggi (super) adalah
lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga
kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum
tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam
satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu,
sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam
CITTES APPENDIX II (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).
Menurut
Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan
kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu:
a. Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh
warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
b.
Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh
warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan
kayunya yang lunak.
c. Abu (bubuk)
adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau
penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan Sesuai rancangan
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi
Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi
menjadi beberapa kelas seperti pada (Tabel 1).
Tabel
1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
No
|
Klasifikasi dan kelas mutu
|
Warna
|
Kandungan damar
|
Aroma
|
A
A1
A2
A3
|
Gubal Mutu utama (U) setara dengan mutu super Mutu pertama
(I) setara dengan mutu AB Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI)
|
Hitam merata Hitam coklat
Hitam kecoklatan
|
Tinggi Cukup Sedang
|
Kuat Kuat Agak kuat
|
B. Kemedangan
|
||||
B1
|
Mutu I
|
Coklat kehitaman
|
Tinggi
|
Agak kuat
|
B2
B3
B4
B5
B6
B7
|
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
Mutu VI
Mutu VII
|
Coklat bergaris hitam
Coklat bergaris putih
Coklat bergaris putih
Kecoklatan bergaris putih
lebar
Putih keabuan garis hitam
tipis
Putih keabuan
|
Cukup
Sedang
Sedang
Sedang
Kurang
Kurang
|
Agak kuat
Agak kuat
Agak kuat
Kurang kuat
Kurang kuat
Kurang kuat
|
C
|
Abu
|
|||
C1
C2
C3
|
Mutu utama (U) Mutu pertama
(I) Mutu kedua (II)
|
Hitam Coklat kehitaman Putih
kecoklatan atau kekuningan
|
Tinggi Sedang Kurang
|
Kuat Sedang Kurang kuat
|
Gaharu merupakan produk
kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Gaharu telah dikenal sejak
ribuan tahun lalu dan diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India
dan Indo-China. Ga11aru yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan
sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang
memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kirnia berupa
resin (a-~ oleoresin). Gaharu
bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon
penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan
8 (delapan) genus yang terd iri dari 17 species pohon penghasil gaharu, yakni Aquilaria
(6 species), Wilkstroamia (3 species), Gonystilus (2
species), Gyrinops (2 species), Dalbergia( 1 species), Enkleia
(1 species), Excoccaria (1 species), dan Aetoxylon (1 species)
(Turjaman, M dan Santoso, 2011).
Perubahan paradigma
dibidang medis dengan mulai dikembangkannya bahan organik dari tumbuhan
(herbal) sebagai obat, menjadikan gaharu semakin dilirik sebagai bahan baku
obat-obatan dari tanaman yang sangat potensial. Menurut Tarigan (2004), sejalan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, pemanfaatan gaharu semakin
luas. Negara Singapura, Cina, Korea, Jepang, -dan Amerika Serikat sudah
mengembangkan gaharu sebagai bahan obat-obatan antara lain: penghilarg stres,
gangguan ginjal, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan ginjal, bahan
antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker, malaria, dan radang lambung. Menurut
ASGARiN (Asosiasi Eksportir Gaharu Indonesia) melaporkan bahwa negara-negara
Eropa dan lndia sudah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan tumor dan kanker.
Sementara di Papua; secara tradisional; daun, kulit batang dan akar gaharu
telah lama dimanfaatkan sebagai obat malaria (Iskandar.
2009).
Permintaan
pasar internasional makin meningkat setiap tahun, dimana pasar gaharu paling
besar adalah ke negara-negara Timur Tengah. Kebutuhan impor gaharu di negara-negara
Timur Tengah banyak diperoleh dari Sin~apura (70%) dan Indonesia (30%). Sedangkan
pasar untuk negara-negara Asia Selatan meliputi Singfpura, Taiwan, Jepang,
Malaysia, Hongkong, dan Korea (Salampessy, 2009). Permintaan pasar internasional
terhadap gaharu yang semakin tinggi membuat perburuan gaharu semakin meningkat
dan tidak terkendali di Indonesia, sementara tidak semua pohon gaharu bisa menghasilkan
gubal gaharu yang bernilai jual tinggi . Minimnya pengetahuan para pemburu gaharu
telah mendorong masyarakat melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diikuti
upaya penanaman kembali (budidaya). menyebabkan populasi pohon penghasil gaharu
telah semakin menurun, sehingga pada konferensi IX di Florida USA tahun 1994, para
anggota CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) memasukkan A. malaccensis dalam Apendix
II. Artinya pohon tersebut terancam punah, karena itu perlu adanya pembatasan
volume dalam pemanfaatan atau eksploitasi jenis penghasil gaharu. Sejak saat
itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu 250 ton/tahun.
Namun, sejak tahun 2000, total ekspor
gaharu dari Indonesia terus menurun jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin
sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon
penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp) dimasukkan
dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 (Gun, et.al.,
2004). Oleh karena itu upaya konservasi jenis rnaupun genetik pohon
penghasil gaharu harus segera dilakukan untuk menghindari hilangnya potensi
plasma nutfah . terutama sumber genetik di alam. Penyelamatan sumber genetik
perlu dilakukan karena adanya variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang
mempengaruhi harga jual di pasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis
pohon inang, jenis inokulan, lama-tidaknya proses pembentukan gaharu dan
variasi genetik pohon penghasil gaharu. Variasi genetic dapat mernpengaruhi
respon inang terhadap inokulum, kecepatan pembentukan gaharu
serta kualitas gaharu yang dihasilkan.
BAB II
RUMUSAN MASALAH DAN KEUNGGULAN
Permasalahan
Gaharu
mempunyai nilai ekonomi serta prospek yang sangat cerah pada masa mendatang.
Praktek eksploitasi gaharu yang sangat tinggi tanpa diimbangi dengan upaya penanaman
kembali serta upaya konservasi (baik jenis maupun genetik) akan menyebabkan
pohon penghasil gaharu terancam punah. Demikian pula yang terjadi di pulau
Sumatera, sampai saat ini belum diketahui berc:1pa besar potensi, peta sebaran,
serta belum dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik gaharu. Dari beberapa
jenis pohon penghasil gaharu, diketahui memiliki variasi kualitas dan kuantitas
gaharu yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang,
jenis inokulan, lama tidaknya proses pembentukan gaharu, dan variasi genetik
pohon penghasil gaharu (Turjaman,
M dan
Santoso,2011))
Dari
segi pemasaran potensi produk gaharu dapat dikatakan masih belum dapat
terkoordinasi dengan maksimal. Pemanfaatan produk masih sekedar bahan mentah
berupa gaharu yang menonjol dipasaran. Rendahnya pengetahuan akan pemanfaatan
gaharu menyebabkan sangat minim keanekaragaman produk hasil gaharu yang dapat
dihasilkan. Petani gaharu memproduksi getah gaharu dengan harga murah walaupun
dalam kegiatan pemanenan hingga pemasaran membutuhkan banyak biaya. Hal ini
menyebabkan sector pemasaran gaharu menjadi tidak efektif dan efisiein.
1.
Masyarakat belum tertarik
untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan
seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan
lebih meningkatkan nilai jualnya.
2.
Belum adanya mekanisme pasar
yang menjamin distribusi secara berkeadilan dan transparan (masih dikuasai
pihak-pihak tertentu) sehingga masyarakat belum yakin karena harga dapat
dipermainkan, serta payung hukum yang kuat terhadap produk tersebut.
3.
Belum adanya pengawasan dan
standarisasi kualitas produk, sehingga harga menjadi sangat subyektif
(tergantung selera pembeli) (Iskandar, 2009).
Keunggulan
Pohon
penghasil gaharu, dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis sehingga hal ini
akan memberikan efek yang baik bagi petani gaharu di Indonesia. Padahal
dalam pemanfaatan gaharu, ada banyak hasil turunan yang dapat dibuat, bukan
hanya gubalnya yang dijual dalam bentuk bahan baku, selain itu gubal gaharu
dapat dipergunakan untuk:
1.
Pengharum/pewangi ruangan
alami, dengan cara dibakar yang banyak dilakukan oleh Masyarakat di Negara
Timur Tengah.
2.
Bahan baku industri parfum,
wangian
3.
kosmetik.
4.
Sebagai bahan pembuatan dupa
(insence stick).
5.
Sebagai bahan baku pembuatan
Kohdoh (untuk acara ritual masyarakat Jepang).
6.
Sebagai bahan baku pembuatan
minyak gaharu.
7.
Sebagai bahan baku pembuatan
aneka kerajinan gaharu.
8.
Sebagai bahan pembuatan
minuman (teh gaharu).
9.
Bahan baku obat-obatan
antara lain:
a. anti asmatik
b. stimulan kerja saraf
c. perangsang seks
d. obat kanker
e. penghilang stress
f. obat malaria
g. anti mikrobia
h. obat sakit perut
i.
penghilang rasa sakit
j.
obat ginjal
k. obat lever dan obat diare.
Jika dilihat dari berbagai
potensi diatas, sebenarnya Indonesia sangat berpotensi mendapatkan keuntungan
yang sebenarnya menjadi sumber devisa Negara. Namun, belum adanya pengaturan
yang memudahkan petani dan msayarakat dalam memeberdayakan gaharu tersebut. Sudah
dilakukan berbagai penelitian dalam meningkatakan produksi gaharu, sperti
adanya teknik inokulasi gaharu yang akan memaksimalkan produksi getah yang
bernilai ekonomis (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).
BAB III
PEMBAHASAN
Pembahasan
Melihat keunggulan yang dimiliki oleh gaharu ada baiknya
pengembangan gaharu semakin diperkuat dari sector pemasaran dan produksinya
sehingga keuntungan yang didapat oleh masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup
dan memberikan devisa bagi Negara.
Ada beberapa saran dan pendapat yang dapat dilakukan
untuk mengatasi berbagai masalah yang terdapat dilapangan terhadap pengembangan
potensi gaharu, sebagai berikut:
1. Pendampingan : untuk membina kelompok usaha tani dalam rangka
menumbuh kembangkan sikap partisipatif, mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan melakukan usaha. Dalam hal ini diharapkan masayarkat setempat dapat
membentuk suatu organisasi dimana dalam organisasi tersebut terjadi komunikasi
untuk mengembangkan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil gaharu didampingi
penyuluh dari pemerintah atau aktivis.
2. Pelatihan : pelatihan didasarkan dari hasil identifikasi
permasalahan lapangan dan kebutuhan latihan serta tingkat pendidikan dan
pemahaman kelompok tani tentang aspek-aspek yang terkait dengan usaha gaharu. Dalam
kegiatan pelatihan petani gaharu dapat dipersiapkan untuk mengolah hasil gaharu
bukan lagi sekedar bahan baku melainkan barang setengah jadi ataupun barang olahan
bernilai ekonomis.
3. Penyuluhan : penyuluhan dilaksanakan untuk meningkatkan peran
serta masyarakat dalam melaksanakan kegiatan usaha secara berkelanjutan. Dalam
hal ini pemerintah memberikan arahan untuk mendorong masyarakat setempat
melihat potensi besar dari gaharu dan mekanisme dalam memproduksinya.
4. Bimbingan Teknis meliputi bimbingan teknis perencanaan, budidaya,
administrasi kelompok, kerjasama dalam kelompok dan antar kelompok serta aspek
kemitraan usaha.
5. Penguatan Modal : pemberian bantuan modal kelompok melalui skim
kredit atau bantuan bergulir dari pemerintah, bank atau manajemen industri
dalam bentuk kemitraan. Bantuan bibit telah dilaksanakan tahun 2008 di Basel
dan Belitung sekitar 300 ribu batang (Pemprov) dan sekitar 250 ribu (Pemda Bateng).
Dalam penguatan modal diharapkan pemerintah dapat juga memberikan bantuan
pinjaman dan bantuan praktek pengelolaan kepada masayarakat.
Dalam
membantu masyarakat, sebaiknya selain pemerintah diharapkan Agar
lembaga-lembaga non departemen dan swasta lebih berperan dalam pengembangan
kelembagaan dan penyediaan modal untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu
khususnya gaharu. Seperti pernyataan Sumadiwangsa dan
Zulnely (1999) Sebab dalam berbagai kegiatan lembaga non
departemen dan swasta dapat memberikan sumbangsih berupa tenaga kerja magang,
penyuluh, maupun modal investasi dalam pengembangan kelembagaan. Jadi
diharapkan dalam praktek dilapangan masayarakat dapat menjadi bagian dari
rencana pengembangan tersebut. Tentunya hal ini akan memberikan dampak saling
menguntungkan atau mutualisme bagi kedua belah pihak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Gaharu merupakan hasil hutan
yang sangat berpotensi nilai ekonomis bila dikembangkan.
2.
Permassalahan utama gaharu
adalah produksi alam yang tidak maksimal dan pemasaran yang masih terpusat.
3.
Penyuluhan, pelatihan,
pendampingan dan penguatan modal menjadi alternative dalam memecahkan
permasalahan gaharu.
4.
Peran serta dan koordinasi lembaga
pemerintah, non-departemen, dan swasta dapat memaksimalkan pemasaran gaharu.
Saran
Sebaiknya masyarakat dan lembaga pemerintah, non-departemen, serta
swasta dapat berkoordinasi dengan baik untuk memudahkan jalur pemasaran gaharu
demi meningkatkan nilai ekonomis gaharu.
DAFTAR
PUSTAKA
Gun, et.al.,
2004. Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Forest Project.
Working paper No. 51. Vietnam. Dalam Sofyan, A.dkk. 2010. Pengembangan
Dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai Bahan
Obat Di Sumatera.
Kementerian Kehutanan
Balai
Penelitian
Kehutanan Palembang. Palembang.
Iskandar. 2009. Pengembangan Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis )
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung.
Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel.
Pdf. Com// [10 juni 2013].
Sumadiwangsa
dan Zulnely, 1999. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di
Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alarr:-
ITTO PO 425/06 Rev .1 (1).
Bogar, 29 April2009.
Sumarna,
2007. Stategi
dan Teknik pemasaran Gaharu di Indonesia. Makalah Workshop Pengembangan
Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam - ITTO PO 425/06 Rev.1
(1).
Bogor, 29 April 2009
Turjaman, M dan
Santoso, E. 2011. Teknologi Inokulasi & Perkembangannya
Untuk Menghasilkan Gubal Gaharu Berkualitas Tinggi.
Pusat
Litbang
Konservasi
& Rehabilitasi. Diakses dari http//: 2 Inokulasi Gaharu.pdf.//
Tarigan.
2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan.
Oepartemen Kehutanan.Ddalam Pengembangan Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis )
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung. Diakses dari http//:
workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].
0 komentar:
Posting Komentar