Oleh : Aulia Putri Tinambunan
NIM : 111201050
NIM : 111201050
PENDAHULUAN
Hutan dipandang sebagai suatu
ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh – tumbuhan pembentuk
hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling
mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena
saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang
lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya
atau ekosistem (Kadri, dkk 1992). 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang
dikuasai atau didominasi oleh pohon – pohon dan mempunyai keadaan lingkungan
yang berbeda dengan di luar hutan (Soerianegara, dkk 1982). 3. Hutan adalah
masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah
dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang
berada dalam keseimbangan yang dinamis (Marit, 2008).
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi,
yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sedangkan pada
pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan
fungsi pokok sebagai berikut : hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi (Himpunan Peraturan Perundang –
Undangan Tentang Kehutanan dan
Illegal Logging, 2007).
Peranan HHBK akhir-akhir ini
dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin
menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK sebagai
produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis diperoleh dari hutan dan
pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan
hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem hutan secara
utuh), juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain kayu (Harun, 2009).
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari
ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta
produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009,
jenis komoditi HHBK digolongkan ke
dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu :
1. HHBK Nabati
HHBK nabati meliputi semua hasil
nonkayu dan turunannya yang berasal dari
tumbuhan dan tanaman, dikelompokkan
dalam :
a. Kelompok resin, antara lain
damar, gaharu, kemenyan, getah tusam;
b. Kelompok minyak atsiri, antara
lain cendana, kulit manis, kayu putih, kenanga;
c. Kelompok minyak lemak, pati, dan
buah – buahan, antara lain buah merah, rebung bambu, durian, kemiri, pala,
vanili;
d. Kelompok tannin, bahan pewarna,
dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca, pinang, gambir;
e. Kelompok tumbuhan obat – obatan
dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan;
f. Kelompok palma dan bambu, antara
lain rotan manau, rotan tahiti;
g. Kelompo k alka loid, antara lain
kina;
h. Kelompok lainnya, antara lain
nipah, pandan, purun.
2. HHBK Hewani
Kelompok hasil hewan meliput i :
a. Kelas hewan buru (babi hutan,
kelinci, kancil, rusa, buaya).
b. Kelompok hewan hasil penangkaran
(arwana, kupu – kupu, rusa, buaya).
c. Kelompok hasil hewan (sarang
burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat
sutera, lebah madu).
Tujuan
Tujuan kajian ini adalah melihat
seberapa jauh potensi dari hasil hutan non kayu sebagai komoditas kehutanan
seperti dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengetahui
perkembangan dari hasil hutan non kayu sebagai komoditas kehutanan sehingga
dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat.
b. Memperoleh
pemecahan masalah atas masalah-masalah yang timbul baik dalam pengelolaan
maupun pemanfaatan hasil-hasil hutan non kayu sebagai komoditas kehutanan
c. Memberikan
pemahaman mengenai pemanfaatan hasil hutan non kayu sebagai komoditas kehutanan
yang potensial selain pemanfaatan kayu dari kehutanan.
PEMBAHASAN
Indonesia
menerapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif, khususnya
hutan. Hal ini didorong oleh politik ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan
ekonomi dalam skala makro. Semangat eksploitasi ini terlihat dengan
dikuasakannya 54,3 juta hektare dari 64 juta hektare yang hutan ada pada
konsesi hak pengusahaan hutan, dimana lebih dari setengahnya beroperasi di
Kalimantan. Akibatnya, kondisi hutan pun mengalami degradasi yang sangat
memprihatinkan. Jika antara 1970-1980-an, laju kerusakan hutan yang terjadi
sebesar 500.000 hektar per tahunnya, maka sejak 1980-an, laju kerusakan hutan
yang terjadi setiap tahunnya mencapai dua kali lipatnya.
Pada era 1980-an, eksploitasi hutan untuk diambil kayu alamnya, mengalami masa keemasan. Ekspor kayu pun mengalami peningkatan yang sangat besar dan menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara. Larangan ekspor kayu bulat ditetapkan dan mendorong pertumbuhan industri berbasis kayu dengan sangat pesat di dalam negeri. Instalasi industri perkayuan yang sangat besar pada masa itu, tidak mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan keberlanjutan usaha.
Pada era 1980-an, eksploitasi hutan untuk diambil kayu alamnya, mengalami masa keemasan. Ekspor kayu pun mengalami peningkatan yang sangat besar dan menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara. Larangan ekspor kayu bulat ditetapkan dan mendorong pertumbuhan industri berbasis kayu dengan sangat pesat di dalam negeri. Instalasi industri perkayuan yang sangat besar pada masa itu, tidak mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan keberlanjutan usaha.
Di
sisi yang lain, ternyata masyarakat di sekitar hutan tidak terpengaruhi oleh
gegap gempita yang dialami industri perkayuan. Teori tetesan ke bawah (trickle
down effect) yang diagung-agungkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, ternyata
tidak berlangsung dan tidak pernah terjadi. Masyarakat yang hidup di sekitar
hutan dan menggantungkan kehidupannya pada produk-produk hasil hutan, tidak
juga merasakan akibat dari eksploitasi sumber daya yang ada dihadapan mereka.
Kesejahteraan mereka tidak mengalami perubahan. Bahkan, sumber penghidupannya
malah terganggu diakibatkan kerusakan ekologis hutan, dampak dari eksploitasi
yang serampangan.
Sejak
masa kejayaan ekploitasi hutan melalui sistem HPH, harga kayu hasil penebangan
cukup menggiurkan masyarakat untuk mengusahakannya. Sebaliknya, nilai tukar
produk hasil hutan non kayu secara bertahap mengalami penurunan. Akibatnya
banyak masyarakat, yang secara tradisi mengusahakan hasil hutan non kayu,
menghentikan kegiatan tersebut dan beralih pada ekspoitasi kayu hutan.
Eksploitasi ini sekarang tidak hanya berlangsung pada kawasan produksi saja,
tapi juga telah merambah pada kawasan konservasi yang ada. Akibat dari telah semakin
terbatasnya tegakan hutan yang belum diekstraksi. Selain itu, prilaku
eksploitatif ini juga berdampak langsung pada produk hasil hutan non kayu.
Dimana banyak produk-produk tersebut yang membutuhkan dukungan tegakan hutan
yang baik untuk berkembang optimal. Jika kondisi kerusakan hutan semakin parah,
bukanlah sebuah keniscayaan beberapa produk hutan non kayu akan pula menjadi
punah.
Prilaku
yang eksploitatif tersebut masih berlaku hingga saat ini. Pemberlakuan
kebijakan desentralisasi pemerintahan pada pemerintah daerah, ternyata tidak
membuat pengelolaan sumber daya alam menjadi lebih baik. Peluang untuk
merumuskan kebijakan secara mandiri ini ditangkap sebagai peluang untuk kembali
mengeksploitasi sumber daya hutan. Pengeluaran izin hak pengusahaan hutan skala
kecil marak dilakukan hampir pada seluruh kabupaten yang masih memiliki sumber
daya hutan.
Belakangan
ini di Kalimantan, pada sebagian masyarakat di sekitar hutan telah mulai tumbuh
kesadaran untuk mengusahakan alternatif pendapatan selain kayu. Umumnya, mereka
mengembangkan komoditas yang merupakan hasil hutan non kayu. Banyak dari mereka
yang mencoba menggali kembali kearifan lokal yang diwarisi nenek moyangnya
dalam mengupayakan hasil hutan non kayu. Kesadaran ini tubuh dari kenyataan
penurunan kondisi lingkungan di sekitar mereka dan menipisnya ketersediaan kayu
yang dapat dieksploitasi. Inisiatif pemanfaatan yang tidak merusak ini bukan
tidak memiliki kendala. Salah satu kendalanya adalah belum berpihaknya
kebijakan dari pemerintah pada pengembangan hasil hutan non kayu.
Banyak pemerintah daerah yang belum memandang
produk hasil hutan non kayu sebagai produk yang dapat diandalkan dalam
mendorong ekonomi daerahnya. Insentif dan perlindungan dari pemerintah daerah
bagi keberlanjutan usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat belum
banyak dirasakan. Keadaan ini diakibatkan masih rendahnya pemahaman pemerintah
daerah menyangkut potensi yang dimiliki oleh produk hasil hutan non kayu.
Perkembangan
Hasil Hutan Non Kayu
Jika
dilihat dari perkembangan hasil hutan non kayu selama 5 tahun terakhir dari
tahun 2003, maka dilihat provinsi yang mulai menyadari berpotensinya
pengusahaan hasil hutan non kayu ini adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua. Sedangkan
provinsi lain tidak ada bahkan yang berniat untuk memulai pengusahaan terhadap
hasil hutan non kayu.
Potensi-Potensi
Hasil Hutan Non Kayu
Hasil
hutan non kayu sebenarnya sangat berpotensi sebagai komoditas kehutanan. Hasil
hutan non kayu dapat dikatakan menyelamatkan eksploitasi terhadap hutan ketika
potensi hasil hutan non kayu ino diakui. Karena sebenarnya potensi dari hasil
hutan non kayu ini sendiri belum banyak diketahui. Nilai harga yang menggiurkan
dari penjualan kayu ternyata sangat menarik minat pengusaha untuk tetap
bergerak di bidangnya. Kemudian mereka menutup diri bahwa sebenarnya masih ada
potensi yang begitu besar jika dimanfaatkan dengan baik. Hasil hutan non kayu
ini bisa dibilang sangat menguntungkan, karena dari satu jenis saja kita bisa
memanfaatkan bagian bagian dari suatu jenis tumbuhan tersebut. Apakah daunya,
akarnya, maupun buahnya. Penggunaannya juga bermacam-macam, mulai dari
pemenuhan kebutuhan, sebagai barang-barang penghias bahkan sebagai obat-obatan.
Berikut adalah beberapa contoh hasil hutan non kayu beserta potensi yang
dimilikinya.
1. Potensi rotan
Luas kawasan hutan yang merupakan
habitat alam rotan seluas 2.215.625 ha. Penyebaran rotan pada wilayah/lokasi
berdasarkan hasil orientasi/cruising ; Kab, Nabire (Sima, Yaur, S. Nauma, S.
Buami, S. Wabi-Wammi, S. Wanggar), Kab. Jayapura (Unurum Guay, Lereh, Pantai
Timur), Manokwari ( Masni, Bintuni, Ransiki, S. Kasi, S. Sima), Merauke (Ds.
Poo, Torey). Potensi raotan rata-rata per hektar berada kisaran 2,75 V 2.062,22
Kg/ha. Jenis-jenis rotan terdiri dari : Daemonorops, Korthalsia, Foser, Calamus
sp., Sersus, Ceratolobus, Plectocomia, dan Myrialepsis. Potensi rotan belum
dimanfaatkan secara optimal sehingga terbuka untuk investasi pemanfaatan rotan
skala industri.
2. Sagu
Hutan
sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha (diperkirakan telah
dimanfaatan hutan sagu secara tradisional ?b 14.000 ha). Potensi sagu kisaran
0,33 V 5,67 batang/ha. Penyebaran sagu terutama wilayah/lokasi Kab. Sorong (Kec.
Inawatan, Seget, Salawati), Kab. Manokwari (Kec. Bintuni), Kab. Jayapura (Kec.
Sentani, Sarmi), Kab. Merauke (Kec. Kimaam, Asmat, Atsy, Bapan, Pantai
kasuari), Kab. Yapen Waropen (Kec. Waropen) dan sebagian besar tegakan sagu
tumbuh pada daerah gambut pantai. Jenis-jenis tegakan sagu terdiri dari ;
Metroxylon rumphii var silvester, Metroxylon rumphii var longispinum,
Metroxylon Rumphii mart, Metroxylon Rumphii var microcantum dan Metroxylon sago
rottb. Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih
dimungkinkan diusahakan dalam skala industri.
3. Nipah
Luas
hutan yang ditumbuhi nipah diperkirakan seluas 1.150.000 ha. Potensi nipah
belum dapat diketahui secara pasti (belum dilakukan inventariasi potensi).
Pemanfaatan nipah belum dapat berkembang, masih tahap pemanfaatan masyarakat
lokal berupa pemanfaatan daun dan buah. Pemanfaatan nipah untuk skala
industri/besar masih terbuka.
4. Kayulawang
Informasi
potensi kayu lawang (Cinnamonum spp.) belum akurat (penyebaran alami sporadis).
Hasil monitoring sentra-sentra produksi minyak lawang telah dapat
diindentifikasi bahwa potensi kayu lawang cukup menjanjikan dan dapat dikembang
menjadi hutan tanaman masyarakat setempat. Sentra-sentra produksi dan
penyebaran kayu lawang pada wilayah/lokasi terdiri dari; Kaimana V Fakfak,
Sorong, Jayapura, Nabire, Merauke dan Manokwari. Potensi kayu lawang masih
dapat ditingkatkan pemanfaatannya..
5.
Kayu masoi
Informasi potensi kayu masoi belum
akurat (penyebaran alami sporadis). Hasil monitoring sentra-sentra produksi
kulit masoi telah dapat diindentifikasi bahwa potensi kayu masoi cukup
menjanjikan dan dapat dikembang menjadi hutan tanaman masyarakat setempat.
Sentra-sentra produksi dan penyebaran kayu masoi pada wilayah/lokasi terdiri
dari ; Kab. Manokwari (Bintuni, Ransiki), Kaimana V Fakfak, Jayapura, Nabire.
Potensi kayu masoi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih terbuka
investasi untuk pemanfaatan kayu masoi untuk skala industri.
5. Kayu putih
Penyebaran
kayu putih pada Kab. Merauke (Kawasan Taman Nasional Wasur). Potensi kayu putih
merupakan tempat tumbuh alamiah di TN. Wasur yang merupakan daun kayu putih
merupakan bahan baku minyak kayu putih hasil penyulingan. Hasil penyulingan
masyarakat diperoleh minyak kayu putih dari daun kayu putih sebanyak 125 kg
sebanding dengan 2,5 liter minyak kayu putih. Jenis kayu putih terdiri dari
Asteromyrtus simpocarpa, Melaleuca lecadendron.
6. Kayu gaharu
Potensi
Kayu Gaharu ini berada di bagian pesisir provinsi Papua, baik yang berada di
Pesisir Utara maupun Pesisir Selatan.
Masalah
yang Timbul dan Pemecahan Masalah
Masalah
yang paling utama pada saat masyarakat tidak mengetahui bahwa besarnya potensi
hasil hutan non kayu dapat mendukung kehidupan yang lebih baik. Kurangnya pengetahuan mengenai hasil hutan nonkayu
juga mempengaruhi masyarakat untuk dapat bergerak dibidang tersebut. Jadi
berikut adalah beberapa penyelesaian masalah yang mungkin dapat mengubah
paradigma masyarakat bahwa ternyata memanfaatkan hasil hutan non kayu itu bisa
jika kita memiliki :
1.
Data, informasi dan pengetahuan yang komprehensif dan mendalam (sebagai hasil
dari studi identifikasi potensi HHNK di komunitas-komunitas sekitar hutan)
mengenai HHNK, teknik-teknik budidaya dan hambatan-hambatan dalam usaha-usaha
berbasis HHNK di tingkat komunitas, termasuk hambatan-hambatan yang berupa
kebijakan yang menyangkut HHNK.
2.
Data, informasi dan pengetahuan yang komprehensif dan mendalam (sebagai hasil
dari studi potensi perdagangan beberapa produk HHNK) mengenai rantai dan
jaringan perdagangan, kapasitas pengolahan pabrik, rute perdagangan dan
transportasi beberapa HHNK yang prospektif serta kendala-kendala yang ada
termasuk kendala kebijakan.
3.
Draf strategi untuk pengembangan HHNK prospektif sebagai masukan bagi pembuat
kebijakan di tingkat kabupaten di tingkat provinsi dan tingkat regional
4. Buku mengenai HHNK dengan pendekatan komprehensif dan kritis
4. Buku mengenai HHNK dengan pendekatan komprehensif dan kritis
PENUTUP
Hasil hutan non kayu adalah salah
satu komoditas kehutanan yang sangat potensial. Hasil hutan non kayu ini ada bermacam-macam
mulai dari komponen hewani, komponen nabati dan jasa lingkungan. Banyak orang
belum mengerti bagaimana hasil hutan non kayu dapat memberikan keuntungan
ekonomi yang besar untuk mereka. Mereka hanya berpikir, bahwa dengan
memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan jauh lebih menguntungkan daripada
memanfaatkan hasil hutan non kayu. Ketidakmengertian darimasyarakat ini
sebenarnya disebabakan karena kurangnya penyuluhan dan pengetahuan atas itu.
Jadi untuk memberikan pengertian mengenai potensialnya hasil hutan non kayu,
maka mereka perlu diberikan suatu data dalam mendukung pemahaman mereka
mengenai hasil hutan non kayu. Buku penuntun juga sangat diperlukan dalam
proses pembelajaran bagi masyarakat yang tentunya sangat tertarik.
daftar pustakanya kok tidak ada
BalasHapuskalau pengin main pada bidang ini sebaiknya cari informasi kemana ya?
BalasHapusMksh
Djual bos y
BalasHapusbagus sekali ya min artikel ini , saya sangat terbantu oleh artikel yang bagus ini dan menambah wawasan saya , saya berharap anda bisa terus berkarya untuk anak banga , dan pastinya saya mendoakan yang terbaik untuk anda sukses selalu dan sehat selalu
BalasHapusbandarq terpercaya
agen domino teraman dan terpercaya
jika ada salah saya dalam pengetikan saye meminta maaf,salam hormat terdalam saya, terima kasih