Oleh : Ceriati Magdalena Simajuntak
Nim : 111201071
Nim : 111201071
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam baik itu berupa
sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk ke
dalam sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Namun
demikian, harus kita sadari bahwa sumber daya tersebut memiliki keterbatasan di
dalam banyak hal, baik itu dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Dari
segi kualitas, manusia dan sumber daya alam lingkungan memiliki kaitan yang
erat. Ada kalanya, keadaan lingkungan menentukan aktivitas manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, ada pula aktivitas manusia yang sangat
mempengaruhi keadaan kualitas lingkungan.
Indonesia
memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah.
Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja, bangsa-bangsa
lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut hutan tropis
Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan berdasarkan
fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di
dunia setelah Brazil dan Zaire (Republic Demokratic Congo) dimana di dalamnya
terkandung keanekaragaman hayati (Dephut, 2007).
Sumberdaya
yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya namun pemanfaatannya yang
tidak optimal adalah sumberdaya hutan. Sedemikian besarnya peranan sumberdaya
hutan tersebut sehingga Indonesia menjadi suatu negara yang disebut sebagai
paru-paru dunia. Produk-produk yang dihasilkan dari sektor ini pun mempunyai
kontribusi yang penting dalam perolehan devisa negara. Faktor-faktor tersebut
yakni sumberdaya hutan yang banyak tersedia dan besarnya permintaan pasar
mendorong bermunculannya industri-industri pengolahan kayu, mulai dari industri
penggergajian, plywood, pulp dan kertas, furniture serta industri pengolahan
lainnya (Iwan, 2001).
Hutan
rakyat pinus telah sejak lama dikembangkan di Kabupaten Humbang Hasundutan
(Humbahas). Berawal pada tahun 1950-an, Pemerintah Daerah Sumatera Utara
melaksanakan gerakan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGEM) yang mendorong
masyarakat dan generasi muda untuk menanam lahan kosong yang ada dengan
bibit-bibit pinus yang sudah disediakan. Pengembangan hutan rakyat pinus tersebut
dilakukan pada lahan milik baik perorangan, kelompok marga/adat maupun kampung.
Sejak tahun 1969 Pemerintah Indonesia melaksanakan Proyek Inpres Penghijauan
sampai dengan saat ini, baik dalam bentuk hutan rakyat maupun kebun bibit desa
dengan jenis tanaman didominasi oleh pinus, namun dikembangkan juga jenis kayu-kayuan
lain seperti sengon, jambu mete, dan sebagainya. Pada tahun 1992, di Kabupaten
Tapanuli Utara (Kabupaten Humbahas merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Tapanuli Utara pada tahun 2003) ada gerakan Berjuta Pohon yang merupakan
gerakan untuk mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong
miliknya dengan tanaman-tanaman produktif (Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli
Utara, 1992). Pinus dipilih sebagai
pohon untuk rehabilitasi lahan kritis karena memenuhi tiga persyaratan yakni:
benihnya cukup tersedia, dapat hidup di berbagai kondisi lahan kritis, dan
teknik penanamannya secara massal telah dikuasai (Mangudikoro, 1983 dalam Astana,
1999).
Sumberdaya hutan berperan sebagai
penggerak ekonomi dapat teridentifikasi daalam beberapa hal, yaitu: pertama,
penyediaan devisa untuk membangun sektor lain yang membutuhkan teknologi dari
luar negeri; kedua, penyediaan hutan dan lahan sebagai modal awal untuk
pembangunan berbagai sektor, terutama untuk kegiatan perkebunan, industri dan
sektor ekonomi lainnya; dan yang ketiga, peran kehutanan dalam pelayanan jasa
lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga bentuk peranan
tersebut berkaitan dengan peranan sumberdaya hutan sebagai penggerak ekonomi
yang sangat potensial, sangat kompleks dan saling terkait (Alam, dkk).
Permasalahan
Kayu dari hutan rakyat pada awalnya
dimanfaatkan terbatas untuk bahan bangunan sederhana dan kayu bakar, kemudian
kayu jenis pinus dijual sebagai bahan baku industry korek api dan chopstick di
Pematangsiantar dan Medan dengan jumlah terbatas. Manfaat hutan rakyat yang
didominasi jenis pinus semakin nyata
dirasakan setelah berdirinya industri pengolahan kayu hulu yakni PT Inti
Indorayon Utama (PT IIU) yang sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp
Lestari (PT TPL) di Porsea sejak 1987. Kayu-kayu pinus dari lahan masyarakat
kemudian dipasarkan ke PT IIU dengan jumlah yang cukup banyak dan cenderung
meningkat dari waktu ke waktu.
Kondisi ini memberikan kesempatan kerja
dan berusaha bagi anggota masyarakat sekitarnya baik melalui kegiatan
penebangan maupun pengangkutan kayunya. Namun berbagai gerakan yang pernah
dicanangkan oleh pemerintah tersebut dan adanya pasar yang jelas untuk pinus,
tidak menjadikan petani mau terus mengembangkan hutan rakyat pinus. Bagi
pemilik lahan, pinus yang sudah masak tebang merupakan tabungan, namun ketika
pinus dipanen dengan sistem tebang habis, ada kecenderungan dari petani untuk mengusahakan
jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti
kopi, coklat, dan sebagainya dibandingkan jenis kayu-kayuan yang memerlukan waktu
lama. Bahkan ketika saat ini mengusahakan kayu dengan jenis ekaliptus sudah
dapat dilakukan dengan pola PIR kerjasama dengan PT TPL sehingga petani hanya menyediakan
lahan dan tenaga sedangkan bibit, biaya pemeliharaan, dan biaya pemanenen menjadi
tanggung jawab PT TPL dengan sistem bagi hasil, tapi motivasi petani masih juga
tidak begitu tinggi.
Memang seperti pengelolaan hutan rakyat
pada umumnya, petani hutan rakyat khususnya pinus di Kabupaten Humbahas juga
memiliki sejumlah permasalahan baik biofisik, kelembagaan petani maupun
perilaku dari petaninya itu sendiri yang menyebabkan hutan rakyat pinus dari
waktu ke waktu semakin tergeser oleh pengusahaan tanaman pertanian. Padahal
pinus sangat cocok dikembangkan di daerah ini, bahkan didukung oleh adanya
organisasi pengusaha kayu bernama Asosiasi Pengusaha Pinus Rakyat Bona Pasogit
(APPR-BP) yang merupakan asosiasi pengusaha pinus rakyat di Tapanuli Utara dan
Humbahas yang terbentuk pada bulan Juli 2003 dengan pusat di Tarutung (Ibukota
Tapanuli Utara).
Dari
latar belakang yang diuraikan di atas sebenarnya pengembangan hutan rakyat pinus
di Humbahas memiliki kekuatan dan peluang yang bagus namun menghadapi berbagai
kendala. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas serta
merumuskan strategi yang tepat bagi upaya pengembangan hutan rakyat pinus berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut.
Tujuan
Pengembangan Komoditi
Dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat
pinus diperlukan upaya-upaya atau strategi pengembangan. Dengan mempergunakan
kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari
faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji
strategi terbaik yang dapat diterapkan. Tujuan dari pengembangan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pengelola hutan rakyat
pinus
BAB II
POTENSI
Propinsi
Sumatera Utara merupakan wilayah daratan dengan topografi beragam, yaitu
dataran rendah, bergelombang, berbukit, pegunungan, serta wilayah kepulauan,
yang berada pada ketinggian antara 0.2.150 meter di atas permukaan
laut. Wilayah ini memiliki perairan umum yang berupa danau dan sungai. Iklim
daerah Sumatera Utara termasuk tropis basah, dengan curah hujan yang beragam
antara 1.430-5.050 milimeter setiap tahun. Suhu udara beragam antara 12,2°
Celsius - 33° Celsius. Wilayah Sumatera Utara mempunyai beberapa kawasan yang
rawan terhadap bencana, yaitu letusan gunung api, gerakan tanah, dan erosi (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-sumatera-utara/sumber-daya-alam.html).
a.
Kesesuaian tempat tumbuh
Pinus
mempunyai habitat alam di tiga lokasi yaitu Aceh, Kerinci dan Tapanuli sehingga
tanaman tersebut mempunyai strain dengan nama sesuai daerah penyebarannya. Menurut
Heyne (1987), jenis ini mempunyai syarat pertumbuhan sebagai berikut: ketinggian
900 - 1800 m dpl, curah hujan lebih dari atau sama dengan 2.000 mm/tahun, kelerengan
antara 0 - 40%, tekstur tanah ringan-sedang, dan sebagainya. Kabupaten Humbahas
mempunyai kondisi iklim dan topografi yang sesuai dengan syarat pertumbuhan
pinus tersebut sehingga jenis ini banyak dijumpai di daerah ini baik karena sengaja
ditanam.
b.
Kebiasaan masyarakat secara turun temurun
Keberadaan
hutan rakyat pinus di Humbahas sebagian besar ditanam melalui gerakan KOGEM
(1950-an), Inpres Penghijauan (1969) dan Berjuta Pohon (1992). Masyarakat di
kabupaten ini kehidupannya sangat tergantung dengan alam (pertanian/kehutanan)
sehingga masyarakat mengelola/memelihara pinus secara turun temurun.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan dengan petani diketahui
bahwa hutan rakyat pinus yang akan dan sedang ditebang pada saat ini sebagian besar
merupakan peninggalan dari orang tuanya (warisan).
c.
Jaminan tabungan bagi ekonomi rumah tangga
Hutan
rakyat pinus yang ditanam sekitar 10-20 tahun yang lalu oleh generasi sebelumnya
ataupun ditanam petani sendiri merupakan tabungan bagi generasi sekarang dan
begitu seterusnya. Sehingga pengelolaan pinus dapat dijadikan sebagai tabungan
bagi ekonomi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dimasa yang akan datang. Keputusan
petani untuk menjual pohon hutan rakyatnya sebagian besar didasarkan karena
adanya kebutuhan uang tunai yang pada saat itu dihadapi.
d.
Teknik budidaya hutan rakyat kurang intensif dibanding usaha tani lainnya
Pengelolaan
pinus tidak memerlukan penanganan yang intensif dan tidak menyita banyak waktu
sehingga petani masih bisa mengerjakan pekerjaan lain. Aktivitas mencari pendapatan
di luar sektor pertanian tersebut malah menyebabkan petani kurang perhatian untuk
mengurus hutan rakyatnya.
e.
Hasil kayu rakyat dapat digunakan sendiri
Hutan
rakyat sebagai salah satu aktivitas dalam bertani mampu menciptakan peluang
bagi pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan akan kayu sendiri seperti
untukmencukupi kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, papan, dan sebagainya.
Namun sebagian besar petani lebih memilih untuk menjual kayu dan hanya
menggunakan kayu untuk digunakan sendiri kalau terpaksa.
f.
Input modal relatif rendah
Sistem
pertanian yang intensif masih banyak dipandang petani sebagai sistem yang memerlukan
banyak biaya dan tenaga sehingga petani cenderung mengarahkan kegiatan pertanian
dengan menanam jenis yang tidak memerlukan perawatan yang rumit, tidak memerlukan
biaya dan tenaga yang cukup besar. Salah satu alasan pengelolaan hutan rakyat
tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar adalah karena proses produksi terkait
dalam seluruh tahapan pengembangannya bisa menghasilkan efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi dan pengelolaan pada hutan rakyat sendiri kurang intensif dibandingkan
dengan usaha tani lainnnya.
BAB III
KELEMAHAN
Faktor-faktor
kelemahan yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat Pinus:
a. Akses terhadap pasar
lemah
Petani
hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan
sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat
kemudian melakukan inventarisasi bersama-sama dengan petugas dinas kehutanan untuk
menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani
karena dianggap lebih praktis. Posisi tawar petani dalam hal ini cenderung
lemah karena pengusaha mempunyai kewenangan yang cukup besar sebagai penentu
harga karena adanya faktor-faktor tersebut dan pengusaha cenderung menentukan
harga sepihak. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya kesempatan petani
untuk memasarkan sendiri karena pengusaha pinus rakyat terbatas (harus memegang
Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik).
Harga
ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi,
kualitas kayu, aksesibilitas, topografi dan sebagainya yang sangat menentukan
biaya penebangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan 3 pengusaha
diketahui harga maksimal kayu pinus adalah Rp 200.000/m . Menurut Astana (1999)
untuk mengangkat harga dasar di tingkat petani, tidak perlu diberlakukan
kebijakan harga dasar. Upaya tersebut lebih efektif dilakukan melalui reformasi
kebijakan yang mengarah kepada penghapusan kekuatan monopsoni-oligopsoni
(deregulasi larangan dan ijin dispensasi penjualan pinus ke luar Sumatera
Utara) dan peningkatan efisiensi tata niaga (penghapusan atau penurunan iuran
pemanfaatan dan biaya lisensi, perpanjangan jangka waktu IPKTM, dan
penyederhanaan prosedur perizinan).
b.
Keterbatasan informasi dan aksesnya
Berdasarkan
hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa informasi harga kayu diperoleh
petani hanya dari pengusaha, sedangkan informasi pasar seperti jumlah permintaaan,
waktu permintaan, kualitas/sortimen kayu maupun pihak yang akan membeli hampir
seluruhnya tidak diketahui. Kondisi ini merupakan salah satu kelemahan dalam
pengembangan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas karena dapat menyebabkan
petani dalam posisi yang sangat lemah dan usaha hutan rakyat pinus tidak menarik
karena pemasarannya tidak mudah.
c.
Penyuluhan hutan rakyat lemah
Informasi
mengenai harga/pasar dan hal lain tentang pengelolaan pinus sebenarnya bisa
diperoleh petani dari penyuluh, namun diketahui bahwa intensitas kunjungan
petugas penyuluh sangat minim dengan materi yang sangat terbatas. Berdasarkan
Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbahas diketahui bahwa penyuluh jarang
melakukan tugas dan fungsinya (hanya 1-3 kali dalam setahun) karena jumlah penyuluh
sangat terbatas dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Kurang efektifnya
kegiatan penyuluhan dan pembinaan, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah,
dan sebagainya akan menjadi hambatan dalam pengembangan hutan rakyat apabila
tidak diatasi dengan baik.
d.
Kelembagaan lemah
Permasalahan
yang sering ditemui dalam komunitas petani khususnya hutan rakyat adalah
kelembagaan yang lemah baik organisasinya ataupun aturan-aturan yang terkait dengan
pengembangan hutan rakyat. Marbyanto (1996) mengatakan bahwa selain factor modal,
teknologi, dan sumberdaya manusia, masih ada faktor lain yang berpengaruh besar
terhadap pengembangan usaha hutan rakyat yakni keterbatasan kemampuan dan kemauan
berorganisasi.
Berdasarkan
hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa tidak ada kelompok tani pinus rakyat
di kabupaten tersebut. Padahal apabila terdapat kelompok tani maka petani bisa
menggunakannya sebagai wadah tukar menukar informasi terutama masalah harga/pasar.
Kalaupun ada sudah tidak aktif lagi karena kelompok tani yang ada sekarang terbentuk
karena adanya bantuan (proyek) seperti Gerhan dan pengalaman membuktikan bahwa
kelompok tani seperti itu tidak akan bertahan lama seiring dengan habisnya kegiatan
bantuan (proyek). Di lapangan justru ditemukan adanya lembaga/organisasi pengusaha
pinus rakyat yakni APPR-BP (Asosiasi Pengusaha Pinus Rakyat-Bona Pasogit) yang
berdiri pada tahun 2003.
e.
Keterampilan masyarakat dalam mengolah hasil hutan rakyat rendah
Petani
lebih menyukai menjual kayunya dengan sistem tebang habis kepada pengusaha yang
kemudian dijual oleh pengusaha kepada industri-industri kayu baik di Pematangsiantar,
Tebing Tinggi, Medan, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena dianggap
sebagai cara yang paling mudah, praktis dan cepat oleh petani. Padahal secara
teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah
sendiri kayu tersebut seperti kayu gergajian, dan sebagainya karena produksi
kayu dari hutan rakyat pinus cukup besar. Meskipun hal ini perlu ditunjang oleh
beberapa hal seperti kelembagaan petani, modal, dan keterampilan yang memadai
yang pada dasarnya hal tersebut masih bisa diusahakan jika ada kemauan dari
semua pihak.
f.
Keterbatasan modal dan aksesnya
Selain
faktor di atas, keterbatasan modal dan aksesnya merupakan salah satu kendala
yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat. Sebenarnya pemerintah melalui SK
Menteri Kehutanan No 49/Kpts-II/1997 telah mengeluarkan kebijaksanaan berupa
kredit usaha hutan rakyat untuk lebih mendorong usaha hutan rakyat dan memberikan
akses yang besar terhadap permodalan. Besarnya kredit usaha hutan rakyat adalah
Rp 2.000.000 per hektar dengan tingkat bunga sebesar 6% per tahun yang dimulai sejak
tahun 1996/1997.
Kesulitan
modal untuk mengembangkan hutan rakyat selain pinus (ekaliptus) di Kabupaten
Humbahas ini sebenarnya dapat diatasi dengan sistem kerjasama PIR dengan PT
TPL, di mana petani hanya menyediakan lahan dan tenaga sedangkan bibit, biaya pemeliharaan,
dan biaya pemanenen menjadi tanggung jawab PT TPL dengan sistem bagi hasil.
Namun belum semua petani tertarik dengan pembiayaan seperti ini karena hasilnya
nanti tidak sepenuhnya menjadi milik petani.
BAB
IV
ANALISIS
DAN SARAN
Analisis
Strategi
yang dapat dilakukan untuk kelemahan di atas adalah:
1) memperluas jaringan
pemasaran dan
2) perluasan hutan
rakyat melalui pemanfaatan lahan kritis dan terlantar.
Upaya
memperluas jaringan pemasaran dapat dilakukan terhadap pasar output (seperti
pasar kayu bulat dan olahan hasil hutan rakyat). Selama ini petani hutan rakyat
memasarkan hasil hutannya kepada pengusaha pinus rakyat yang jumlahnya terbatas
dengan posisi tawar yang dimiliki petani rendah dalam penentuan harga. Jaringan
pemasaran dapat diperluas dengan bantuan fasilitasi dari instansi terkait seperti
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan instansi terkait lainnya
untuk meningkatkan posisi tawar petani. Upaya perluasan hutan rakyat dapat dilakukan
dengan memanfaatkan lahan kritis dan terlantar yang ada agar dapat menghasilkan
manfaat ekonomi dan ekologi dari penggunaan lahan tersebut untuk pengembangan
hutan rakyat. Salah satu keunggulan hutan rakyat adalah bisa dikembangkan di
lahan kritis dan terlantar.
Strategi
lain yang dapat dilakukan adalah:
1) melakukan pembinaan
teknik pengelolaan hutan rakyat dan
2)
meningkatkan kualitas SDM. Pembinaan teknik pengelolaan hutan rakyat bertujuan
untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan sustainabilitas hasil hutan rakyat
serta mencegah dampak-dampak negatif pengelolaan hutan rakyat pada lingkungan.
Pembinaan teknik pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan melalui
penyebarluasan informasi (penyuluhan, penyebaran leaflet, dan buku buku panduan),
pelatihan, dan lain-lain. Strategi peningkatan SDM menjadi dasar dari semua
strategi yang ada karena faktor SDM adalah salah satu modal dasar pengembangan hutan
rakyat. Peningkatan kualitas SDM petani dapat dilakukan selain dengan cara di
atas juga dengan pelatihan, studi banding, dan sebagainya.
3)
pengembangan sistem insentif melalui peningkatan fasilitasi dari berbagai
elemen sesuai peran dan fungsinya untuk lebih memberdayakan masyarakat,
4)
pengembangan kelembagaan pasar yang menciptakan iklim kondusif untuk usaha.
Sebenarnya masyarakat memiliki banyak potensi, baik dilihat dari sumberdaya
alam yang ada maupun dari sumberdaya social budaya. Cara menggali dan
mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada di masyarakat inilah yang menjadi
inti dari pemberdayaan masyarakat.
Strategi
yang pertama bertujuan agar masyarakat mampu mengenal kebutuhan, permasalahan
dandapat merumuskan rencana serta melaksanakan rencananya secara mandiri dan
swadaya. Sedangkan strategi pengembangan kelembagaan pasar bertujuan untuk
menciptakan iklim kondusif untuk usaha hutan rakyat. Pengembangan kelembagaan
pasar dapat dilakukan dengan membentuk lembaga perkreditan, lembaga kerjasama
usaha dengan pihak lain, dan sebagainya.
Saran
Upaya-upaya
pemerintah dalam mengembangkan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas perlu
diarahkan pula pada peningkatan kesadaran/motivasi
masyarakat dalam
mengembangkan hutan rakyat baik untuk kepentingan ekonomi
maupun ekologi dan
perlu ada kebijakan/aturan khususnya dalam pemasaran kayu pinus yang berpihak
kepada petani sehingga posisi tawar petani tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Alam, dkk. 2009.
Ekonomi Sumber Daya Hutan. Universitas Hasanuddin. Tamanlanrea
Astana, S. 1999.
Pengembangan Pengusahaan Pinus Hutan Rakyat di Sumatera Utara: Masalah,
Tantangan, dan Peluang Keberhasilan. Makalah Utama dalam Ekspose Hasil
Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar di Medan, 30 Maret 1999.
Pematang Siantar.
Badan
Pusat Statistik Kabupaten Humbang Hasundutan. 2009. Humbang Hasundutan dalam Angka 2008. Dolok sanggul: BPS Kab.
Humbang Hasundutan.
Departemen
Kehutanan. 2007. Instrumen Kehutanan
Global. Dephut. Jakarta
Dinas
Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara. 1992. Rencana Pembinaan Sumberdaya Hutan
Rakyat di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1993/1994. Tarutung.
Iwan. 2001. Profil
Industri Pengolahan Kayu di Propinsi Sumatera Utara. Diakses dari http://
Sumberdaya Hutan.pdf (22/6/2013) (11.00 WIB).
Marbyanto, E.
1996. Pengembangan Kelembagaan Hutan Rakyat (Suatu Upaya Peningkatan
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Hutan Rakyat Melalui Pendekatan
Kelompok). Makalah dipresentasikan dalam acara ”Diskusi Panel Pemanfaatan Kayu
Rakyat) yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan, Jakarta, 16-17 Januari
1996.
Nurrochmat
DR. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan
Masyarakat: Kemenyan di Tapanuli Utara. Di dalam: Darusman D, Editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Debut Press.
0 komentar:
Posting Komentar