Oleh : Puput Sarah
NIM : 111201078
NIM : 111201078
PENDAHULUAN
Acacia mangium Willd.,
yang juga dikenal dengan nama
mangium, merupakan salah satu jenis pohon cepat
tumbuh yang paling umum digunakan dalam
program pembangunan hutan tanaman di Asia dan
Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan
pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang
baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai
jenis tanah dan lingkungan (National Research
Council 1983).
Tekanan terhadap ekosistem hutan
alam di Indonesia yang tidak dapat dihindari belakangan
ini mengakibatkan penggunaan jenisjenis cepat
tumbuh, termasuk mangium, sebagai pengganti
bahan baku untuk menopang pasokan produksi
kayu komersial. Berdasarkan hasil uji coba dari
46 jenis tanaman yang dilakukan oleh Departemen
Kehutanan di Subanjeriji (Sumatera Selatan),
mangium dipilih sebagai jenis tanaman yang
paling cocok untuk tempat tumbuh yang marjinal,
seperti padang rumput alang-alang (Arisman
2002, 2003).
Luas areal hutan tanaman mangium di
Indonesia dilaporkan
mencapai 67% dari total luas areal hutan tanaman
mangium di dunia (FAO 2002). Rimbawanto (2002)
dan Barry dkk. (2004) melaporkan bahwa sekitar
80% dari areal hutan tanaman di Indonesia yang
dikelola oleh perusahaan negara dan swasta terdiri
dari mangium. Sekitar 1,3 juta ha hutan tanaman
mangium telah dibangun di Indonesia untuk tujuan
produksi kayu pulp (Departemen Kehutanan 2003).
Mangium juga diusahakan oleh rakyat
(petani) dalam
skala kecil. Menurut Departemen Kehutanan dan Badan
Statistika Nasional (2004), Provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah
tanaman mangium rakyat
tertinggi, mencakup lebih
dari 40% total jumlah tanaman mangium yang diusahakan
oleh rakyat di Indonesia.
Nama
botani : Acacia
mangium Willd.
Marga : Leguminoseae
Submarga : Mimosoideae
Sinonim : Rancosperma
mangium (Willd.) Pedley
Nama
lokal/umum : Nama
lokal di Indonesia: mangga hutan, tongke hutan (Seram),
nak (Maluku), laj (Aru), dan jerri (Irian Jaya)
(Turnbull 1986). Nama
lokal di negara lain: black wattle, brown salwood,
hickory wattle, mangium, sabah salwood (Australia,
Inggris); mangium, kayu SAFODA (Malaysia);
arr (Papua Nugini); maber (Filipina); zamorano
(Spanyol); dan kra thin tepa, krathinthepha (Thailand)
(Hall dkk. 1980, Turnbull 1986).
Pohon mangium pada umumnya besar dan bisa mencapai
ketinggian 30 m, dengan batang bebas cabang
lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total
tinggi pohon. Pohon mangium jarang mencapai diameter
setinggi dada lebih dari 60 cm, akan tetapi di hutan
alam Queensland dan Papua Nugini, pernah dijumpai
pohon dengan diameter hingga 90 cm (National
Research Council 1983).
Di tempat tumbuh yang buruk, pohon
mangium bisa menyerupai
semak besar atau pohon kecil dengan tinggi
rata-rata antara 7 sampai 10 m (Turnbull 1986). Batang
pohonnya beralur memanjang. Pohon yang masih
muda umumnya berkulit mulus dan
berwarna kehijauan; celah-celah pada kulit mulai
terlihat pada umur 2–3 tahun. Pohon yang tua
biasanya berkulit kasar, keras, bercelah dekat pangkal,
dan berwarna coklat sampai coklat tua (Hall
dkk. 1980).
Anakan mangium yang baru berkecambah
memiliki daun
majemuk yang terdiri
dari banyak anak daun mirip
dengan Albizia, Leucaena, dan jenis lain dari sub-marga
Mimosoideae. Meskipun demikian, setelah beberapa
minggu, daun majemuk ini tidak lagi terbentuk;
melainkan tangkai daun dan sumbu utama setiap
daun majemuk tumbuh melebar dan berubah menjadi phyllode.
Phyllode ini berbentuk sederhana
dengan tulang daun paralel, dan bisa mencapai
panjang 25 cm dan lebar 10 cm. Bunga
mangium tersusun dari banyak bunga kecil berwarna
putih atau krem seperti paku. Pada saat
mekar, bunga menyerupai sikat botol (Turnbull
1986) dengan aroma yang agak harum. Setelah
pembuahan, bunga berkembang menjadi polong-polong
hijau yang kemudian berubah menjadi buah
masak berwarna coklat gelap (National Research Council
1983). Bijinya berwarna hitam
mengilap dengan
bentuk bervariasi dari longitudinal, elips, dan oval
sampai lonjong berukuran 3–5 mm × 2–3 mm. Biji
melekat pada polong dengan tangkai yang
berwarna oranye-merah.
PEMBAHASAN
Jenis mangium tumbuh secara alami di
hutan tropis lembap di Australia bagian timur
laut, Papua Nugini
dan Kepulauan Maluku kawasan timur Indonesia
(National Research Council 1983). Setelah berhasil
diintroduksikan ke Sabah, Malaysia, pada pertengahan
tahun 1960-an, mangium banyak diintroduksikan
ke berbagai negara, termasuk Indonesia,
Malaysia, Papua Nugini, Bangladesh, Cina, India,
Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Di
Indonesia, jenis ini pertama kali diintroduksikan ke daerah
lain selain Kepulauan Maluku pada akhir tahun
1970-an sebagai jenis pohon untuk program reboisasi
(Pinyopusarerk dkk. 1993).
Tempat Tumbuh
Mangium dapat beradaptasi dengan baik
pada berbagai jenis tanah dan kondisi
lingkungan. Mangium
dapat tumbuh cepat di lokasi dengan level nutrisi tanah
yang rendah, bahkan pada tanah-tanah asam dan
terdegradasi (National Research Council 1983).
Jenis ini tumbuh baik pada tanah laterit, yaitu tanah
dengan kandungan oksida besi dan aluminium yang
tinggi (Otsamo 2002). Meskipun
demikian, jenis ini tidak
toleran terhadap naungan dan lingkungan salin
(asin). Di bawah naungan, mangium akan tumbuh
kerdil dan kurus (National Research Council 1983).
Jenis ini merupakan jenis pionir yang
dapat meregenerasi secara alami di lokasi yang
sudah terganggu. Gunn dan Midgley (1991)
melaporkan bahwa
mangium tumbuh secara melimpah di hutanhutan pasca
terjadinya gangguan, di sepanjang jalan dan
bekas-bekas peladangan berpindah di Indonesia dan Papua
Nugini. Jenis
mangium biasanya ditemukan di daerah dataran rendah
beriklim tropis yang dicirikan oleh periode kering
yang pendek selama 4 bulan (Eldoma dan Awang
1999). Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian di atas
permukaan laut sampai ketinggian 480 m. Meskipun
demikian, mangium dapat tumbuh
pada
ketinggian hingga 800 m (Hall dkk. 1980, Atipanumpai
1989).
Jumlah curah hujan tahunan di areal
tumbuhnya mangium bervariasi dari 1.000 mm sampai
lebih dari 4.500 mm dengan rata-rata curah
hujan tahunan antara 1.446 dan 2.970 mm. Di habitat
alaminya, suhu minimum rata-rata berkisar 12–16 oC
dan suhu maksimum rata-rata sekitar 31–34 oC
(National Research Council 1983).
Jenis ini tidak
tumbuh terus menerus sepanjang tahun; pertumbuhan
tampak lambat atau berhenti sebagai respons
terhadap kombinasi curah hujan yang rendah dan suhu
yang dingin (Turnbull 1986). Mangium bisa
mengalami kematian
jika terkena kekeringan yang
parah atau musim dingin yang berkepanjangan. Pan dan
Yang (1987) melaporkan angka kematian yang
tinggi pada mangium berumur 5 tahun setelah mengalami
periode waktu dengan suhu rendah (sekitar
5–6 oC) disertai dengan hujan dingin yang
lama.
Karakteristik Kayu
Kayu gubal mangium tipis dan berwarna
terang. Kayu terasnya
berwarna agak coklat, keras, kuat, dan tahan lama pada
ruangan yang berventilasi baik, meskipun tidak
tahan apabila kontak dengan tanah (National Research
Council 1983). Serat kayunya lurus hingga bertautan
dangkal; teksturnya agak halus sampai halus dan
seragam. Kerapatan kayunya bervariasi dari 450
sampai 690 kg/m3 dengan kadar air 15%. Tingkat
penyusutan cukup rendah sampai moderat
sebesar 1,4–6,4% (Abdul-Kader dan Sahri 1993).
Berat jenis kayu dari tegakan hutan tanaman umumnya
berkisar antara 0,4 dan 0,45 sedangkan yang dari
tegakan alam sekitar 0,6 (National Research Council
1983).
Kegunaan
Kayu mangium dapat digunakan untuk pulp,
kertas, papan
partikel, krat dan kepingan-kepingan kayu. Selain
itu juga berpotensi untuk kayu gergajian, molding, mebel
dan vinir. Karena memiliki nilaikalori sebesar 4.800–4.900 kkal/kg, kayunya
dapat digunakan untuk kayu bakar dan arang.
Daunnya dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Cabang dan daun-daun
kering yang berjatuhan dapat digunakan untuk
bahan bakar. Penggunaan nonkayu meliputi bahan
perekat dan produksi madu. Serbuk gergajinya dapat
digunakan sebagai substrat berkualitas
bagus untuk produksi jamur yang dapat dimakan
(Lemmens dkk. 1995).
Pohon mangium juga dapat digunakan
sebagai pohon
penaung, ornamen, penyaring, pembatas dan penahan
angin, serta dapat ditanam pada sistem wanatani
dan pengendali erosi (National Research Council
1983). Jenis ini banyak dipilih oleh petani untuk
tujuan peningkatan kesuburan tanah ladang atau
padang rumput. Pohon mangium mampu berkompetisi
dengan gulma yang agresif, seperti
alang-alang
(Imperata cylindrica); jenis ini juga mengatur
nitrogen udara dan menghasilkan banyak serasah,
yang dapat meningkatkan aktivitas biologis tanah dan
merehabilitasi sifat-sifat fisika dan kimia tanah
(Otsamo dkk. 1995). Pohon mangium juga dapat
digunakan sebagai penahan api karena pohon berdiameter
7 cm atau lebih biasanya tahan terhadap api
(National Research Council 1983).
Pengumpulan Benih
Jenis mangium mulai berbunga dan
menghasilkan biji sekitar
18–20 bulan setelah tanam (National Research Council
1983). Musim berbunga dan berbuah bervariasi
tergantung lokasi geografis. Sebagai contoh, di
Australia puncak musim bunga terjadi pada bulan Maret dan
Mei dengan musim buah jatuh pada akhir
September–Desember (Sedgley dkk. 1992). Di
Indonesia, buah masak terjadi lebih awal yaitu sekitar
bulan Juli, dan di Papua Nugini buah masak terjadi
pada bulan September (Turnbull 1986).
Secara umum,
buah akan masak 5–7 bulan setelah periode pembungaan.
Buah
dapat dipanen pada saat terjadi perubahan warna
menjadi coklat tua dan biji mulai terbuka. Pemanenan
dilakukan dengan cara memangkas buah dari
pohon dengan menggunakan galah pangkas. Idealnya,
buah dipanen sebelum polong terbuka secara
penuh (Bowen dan Eusebio 1981 dalam Adjers
dan Srivastava 1993); polong dengan biji-biji menggantung
biasanya tetap melekat di pohon selama beberapa
minggu.
Persiapan
Benih
Buah polong mangium harus diproses
secepat mungkin
setelah pengumpulan. Berbagai teknik dapat
digunakan untuk memisahkan benih dari polongnya.
Benih dapat diekstraksi secara manual setelah
dikeringkan di tempat terbuka selama beberapa
hari (24–48 jam) sampai warna polong berubah
menjadi coklat/hitam dan terpisah. Suhu pengeringan
harus tetap di bawah 43 oC untuk menghindari
hilangnya viabilitas benih (FAO 1987).
Biji juga dapat dipisahkan dari polongnya
setelah pengeringan
dengan cara diputar selama 10–15 menit dalam
pengaduk semen dengan balok kayu yang
berat.
Metode lain adalah dengan meletakkan polong kering ke
dalam karung dan kemudian memukulnya dengan
mesin perontok. Biji kemudian diayak danditampi secara manual atau dengan mesin
untuk mengeluarkan kotoran. Satu kilogram biji
yang sudah bersih
rata-rata mengandung 80.000–110.000 butir (National
Research Council 1983).
Penyimpanan dan Viabilitas
Benih
Penyimpanan benih mangium relatif mudah.
Setelah benih
dikeringkan hingga kadar air 6–8% dan disimpan
dalam wadah yang kedap udara, benih akan tetap
berkecambah hingga 75–80% selama beberapa hari
(National Research Council 1983). Penyimpanan harus
dilakukan dengan tepat untuk melindungi benih dari
suhu tinggi, cahaya, dan oksigen yang berlebihan.
FAO (1987) menganjurkan penyimpanan benih
mangium dalam wadah tertutup yang kedap udara dan
disimpan dalam lemari es dengan suhu 0–5 oC.
Supriadi dan Valli (1988) menyarankan untuk menggunakan
jeriken bersih atau botol-botol kecil yang
dapat ditutup dengan rapat. Menurut Evans (1982),
benih mangium memiliki ketahanan
yang lama apabila tetap disimpan pada kondisi
kering dan bebas dari serangga dan binatang
pengerat yang
merusak.
Sebelum penaburan, benih harus dimasukkan dalam air
mendidih selama 30 detik, dan kemudian didinginkan
dengan cara direndam dalam air dingin selama 2
jam. Perkecambahan mungkin terjadi setelah 1
hari dan terus berlangsung sampai 10–15 hari
(Adjers dan Srivastava 1993).
Propagasi dan Penanaman
Penaburan
Benih dapat ditabur pada bedeng tabur dan
ditransplantasikan setelah 6–10 hari. Meskipun
demikian, daya perkecambahan dengan
menggunakan metode ini hanya sekitar 37%.
Penaburan pada bak kecambah dan mentransplantasikannya
setelah 6–10 hari ketika radicle (embrio)
keluar bisa menghasilkan daya perkecambahan
lebih dari 85% (Adjers dan Srivastava 1993).
Cara lain adalah dengan penaburan secara langsung
dalam kontainer dan diikuti dengan transplantasi
untuk mempertahankan satu bibit per kontainer.
Penaburan secara langsung umumnya lebih
disukai oleh banyak petani pohon karena mengurangi
biaya produksi bibit dan risiko deformasi
akar (Adjers dan Srivastava 1993).
Metode ini memerlukan benih yang
berkualitas baik
dengan persentase perkecambahan yang tinggi. FAO
(1987) merekomendasikan beberapa benih pada
setiap kontainer: 3 biji per kontainer (daya perkecambahan
30–50%), 2 biji per kontainer (daya perkecambahan
51–80%), dan 1 biji per kontainer (daya
perkecambahan lebih dari 81%). Penaburan secara
langsung harus dilakukan di bawah jaring naungan
karena mangium tidak memerlukan banyak cahaya.
Di Indonesia, jaring dengan transmisi cahaya 50% telah
digunakan secara ekstensif (Supriadi dan Valli
1988). Setelah ditabur benih harus ditutup. Bahan penutup
seperti pasir kasar yang sudah dicuci, batu atau
kerikil yang sudah dihancurkan biasanya digunakan
untuk mencegah munculnya penyakit lodoh
(rebah semai), mempercepat munculnya kotiledon
dan memberi ruang yang cukup untuk pertukaran
udara dan drainase air (FAO 1987).
Persiapan Sebelum Penanaman
Kelembaban yang cukup dan sumber pupuk
yang sesuai sangat penting bagi pertumbuhan
bibit di persemaian.
Penyiraman yang berlebihan dapat menyebabkan
bibit berair, sedangkan penyiraman yang
kurang dapat menyebabkan bibit kerdil (FAO 1987).
Waktu penyiraman tergantung pada suhu,
curah
hujan, kelembaban udara, evapotranspirasi, kecepatan
angin, ukuran pohon dan substrat. Pupuk NPK
umumnya diberikan pada umur 10 hari setelah
tanam dan diberikan dua kali seminggu di persemaian
(Adjers dan Srivastava 1993).
Setelah pemberian
pupuk, sedikit penyiraman diperlukan untuk
mencuci daun dari residu pupuk. Bibit
biasanya dipelihara di persemaian selama 12 minggu
atau sampai mencapai ukuran tinggi
25–40 cm (Gambar 7). Srivastava (1993) merekomendasikan
dua pemangkasan akar dan pengerasan
bibit (adaptasi bibit dengan sinar matahari penuh)
sebelum dilakukan penanaman di lapangan. Pada
tanah dengan kandungan fosfor rendah, bibit mangium
yang diberi pupuk fosfor sebesar 30 g per pohon
menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang signifikan
dibandingkan dengan pertumbuhan bibit yang
tanpa pupuk (Lemmens dkk. 1995).
Penanaman
Bibit ditanam secara manual pada waktu
musim hujan di lokasi penanaman yang sudah
disiapkan dan telah
diberi tanda pada jarak tanam yang direkomendasikan.
Pada areal yang miring, bibit ditanam
sesuai dengan garis kontur, dan di areal yang datar
bibit ditanam sesuai dengan garis lurus. Setelah kontainer
dilepas, setiap bibit ditempatkan secara hati-hati
pada lubang tanam berukuran diameter 13 cm dan
kedalaman 20 cm (Srivastava 1993).
Jarak tanam tergantung pada tujuan
penanaman dan
tingkat kesuburan tanah. Jarak tanam awal dapat
bervariasi dari 2 × 2 m sampai dengan 4 × 4 m.
Untuk produksi kayu bakar dan kayu serpih di mana
bentuk batang tidak dipertimbangkan, bibit harus
ditanam dengan jarak yang lebih lebar untuk menghasilkan
batang dan percabangan yang lebih banyak
sehingga menghasilkan volume pohon total yang
lebih besar (Srivastava 1993), meskipun biaya panen
akan meningkat. Penanaman dengan jarak tanam
yang lebih rapat untuk produksi kayu gergajian dapat
mengurangi terbentuknya cabang-cabang besar dan
risiko infeksi jamur (Weinland dan Zuhaidi 1991 dalam Srivastava
1993). Di Indonesia, jarak tanam 3 × 3 m pada
umumnya digunakan di hutan tanaman A.
mangium baik yang berskala besar maupun berskala
kecil.
Penyiangan
Penyiangan pada tanaman A. mangium perlu dilakukan
untuk membebaskan tanaman pokok dari belukar,
tanaman pemanjat dan tanaman pengganggu lainnya;
gulma yang tidak berbahaya dapat pula dibiarkan
tumbuh di lapangan untuk menjaga persaingan
cabang lateral. Penyiangan pertama perlu dilakukan
dua bulan setelah penanaman, menurut Udarbe
dan Hepburn (1987 dalam Srivastata 1993).
Frekuensi penyiangan berikutnya bisa
berbeda menurut
lokasi. Di daerah yang tumbuhan alangalangnya sangat
lebat, penyiangan harus sering dilakukan,
misalnya areal di sekitar larikan tanamanharus dibersihkan pada umur 1,5, 3 dan
5 bulan dan gulma
yang tumbuh di antara larikan tanaman juga harus
disiangi pada bulan ketiga (National Research Council
1983). Di Indonesia, penyiangan sekitar tanaman
mangium biasanya dilakukan 3–4 kali pada tahun
pertama dan kedua setelah tanam (Departemen Kehutanan
dan Perkebunan 1999).
Pemupukan
Pada sebagian lokasi, pemupukan hanya
memberikan sedikit
pengaruh terhadap tanaman mangium (National
Research Council 1983). Meskipun demikian,
100 g pupuk fosfat umumnya diberikan pada
setiap lubang tanam pada saat penanaman, terutama
pada tanah-tanah yang sangat miskin hara. Simpson
(1992) dalam Srivastava (1993) melaporkan bahwa
aplikasi pupuk yang sesuai dalam jumlah yang memadai
(misalnya 100 kg/ha N, 50 kg/ha P dan 50 kg/ha
K) dapat meningkatkan pertumbuhan awal mangium.
Jenis dan jumlah pupuk dapat bervariasi, tergantung
pada tanah dan kondisi tempat tumbuh. Sebagai
contoh, di Kalimantan Selatan kalium tampaknya
menjadi faktor pembatas pertumbuhan, sementara
di Malaysia fosfat merupakan unsur hara yang
paling penting (Srivastava 1993).
Penyulaman
Penghitungan survival (jumlah
tanaman yang hidup) biasanya
dilakukan 1 bulan setelah penanaman. Penyulaman
biasanya dilakukan pada tanaman yang mati.
Penyulaman dilakukan pada waktu musim hujan 1–2
bulan setelah penanaman. Srivastata (1993) melaporkan
bahwa persentase hidup mangium
setelah
penanaman pada umumnya tinggi; di lokasi
yang menguntungkan, persentase hidup bisa mencapai
lebih dari 90%.
Penunggalan dan Pemangkasan
Mangium pada umumnya ditanam pada kondisi yang
cukup terbuka dan di tempat tumbuh yang bagus
cenderung untuk membentuk percabangan ganda. Selain
itu, jenis ini memiliki kemampuan
untuk meluruhkan diri yang kurang. Oleh
karena itu, penunggalan dan pemangkasan penting
dilakukan pada tahap awal pertumbuhan jika tujuan
penanaman adalah untuk mempertahankan potensi
pertumbuhan total dan produksi kayu yang berkualitas
baik (Mead dan Speechly 1991).
Meskipun demikian,
penunggalan dan pemangkasan biasanya hanya
dilakukan pada hutan tanaman yang ditujukan untuk
menghasilkan kayu vinir dan kayu gergajian yang
berkualitas. Penunggalan biasanya dilakukan mulai
umur 4–6 bulan setelah tanam sebelum kayu gubal
terbentuk. Pemangkasan mulai dilakukan 1 tahun
setelah tanam (Srivastava 1993).
Pemangkasan berikutnya
bisa dilakukan pada tahun kedua sebelum mencapai
ketinggian 2–3 m, pada tahun ketiga sebelum
mencapai ketinggian 5 m dan pada tahun keempat
sebelum mencapai ketinggian 7 m. Cabangcabang harus
dipangkas sebelum mencapai diameter 2 cm untuk
menghindari infeksi jamur, terutama busuk hati
(Srivastava 1993). Pada sistem wanatani, cabang-cabang biasanya
dipangkas secara teratur untuk mencegah
persaingan dengan tanaman pertanian.
Penjarangan
Keputusan untuk melakukan penjarangan
atau tidak pada
tanaman mangium harus didasarkan pada pertimbangan
tujuan produksi. Jika tujuan utamanya adalah
produksi kayu pulp, di mana tidak ada pembatasan
ukuran produk, maka penjarangan tidak diperlukan.
Penjarangan hanya diperlukan apabila tujuan
penanaman adalah untuk menghasilkan kayu gergajian
dan vinir. Krisnawati (2007) menunjukkan bahwa
kebutuhan penjarangan bervariasi tergantung pada
kerapatan tegakan dan kualitas tempat tumbuh.
Hasil penelitiannya menyarankan bahwa
penjarangan pertama
sebaiknya dilakukan pada umur 2–4 tahun,
tergantung pada kualitas tempat tumbuh dan kerapatan
tegakan. Pada kisaran umur ini, tegakan memiliki
rata-rata tinggi sekitar 9 m. Hasil penelitian ini
sejalan dengan pernyataan Mead dan Speechly (1991)
dan Mead dan Miller (1991) yang menyatakan bahwa
penjarangan pertama tanaman mangium perlu
dilakukan ketika tanaman mencapai ketinggian 9 m
(umumnya ketika tanaman berumur 2 tahun pada
jarak tanam 3 × 3 m). Jumlah penjarangan yang
optimal dalam satu periode rotasi meningkat dengan
meningkatnya kerapatan tegakan. Dalam kebanyakan
kasus, penjarangan cukup dilakukan satu kali
selama rotasi. Dalam kasus bila lebih dari satu kali
penjarangan merupakan keputusan manajemen yang
optimal, penjarangan kedua harus dilakukan 2 tahun
setelah penjarangan pertama. Skenario optimal
dengan satu kali penjarangan meliputi penjarangan
dengan intensitas 30–60% dari jumlah batang,
sedangkan pada penjarangan ganda, intensitaspenjarangan yang optimal adalah 50%
dari jumlah batang.
Intensitas penjarangan optimal umumnya lebih
besar pada tegakan dengan kerapatan lebih tinggi.
Untuk tegakan dengan kerapatan tegakan tinggi,
intensitas penjarangan yang optimal adalah 60%,
sedangkan untuk kerapatan tegakan sedang intensitas
penjarangan yang optimal adalah sekitar 40–50%
(Krisnawati 2007).
Pengendalian Hama dan
Penyakit
Jenis mangium secara umum relatif bebas
dari serangan hama dan penyakit yang serius
(Mead dan Miller 1991). Survei yang dilakukan
untuk mengevaluasi penyakit tanaman Acacia tropis menyimpulkan
bahwa penyakit busuk hati, busuk akar dan
karat phyllode (masing-masing infeksi pada kayu
gubal, akar dan daun oleh jamur) merupakan ancaman
utama (Old dkk. 2000).
Jamur busuk hati tidak
akan mengakibatkan kematian tetapi kualitas kayu
menurun; kayu menjadi keputih-putihan, poros atau
berserat dan dikelilingi oleh bercak-bercak hitam.
Jamur busuk hati parasit basidiomisetes yang masuk
melalui luka-luka dan bekas potongan cabang (misalnya,
akibat pemangkasan) dan tidak menyerang jaringan
sehat. Penyakit busuk akar adalah kebusukan pada akar
yang disebabkan oleh berbagai patogen basidiomisetes,
menyerang jaringan akar sehat dan dapat
mengakibatkan kematian pohon atau gejala penurunan
pada tajuk. Penyakit ini menyebar melalui kontak
akar yang sakit atau puing-puing kayu yang
terinfeksi
dengan akar yang sehat. Penyakit karat phyllode disebabkan
oleh jamur yang merusak jaringan
pertumbuhan tanaman di persemaian dan
tanaman muda. Wabah
yang mengakibatkan keguguran
daun prematur dilaporkan terjadi pada umur 15
bulan di Sumatera dan Kalimantan Selatan (Old dkk.
2000).
Beberapa kelompok serangga dilaporkan
telah menyerang tanaman mangium. Serangga yang mungkin
menyerang anakan mangium di persemaian meliputi
serangga kecil (Hemiptera), belalang dan ulat kantong,
yang menyebabkan berbagai tipe kerusakan (Nair dan
Sumardi 2000). Rayap (Captotermes curvignathus), juga
dilaporkan memakan akar bibit
tanaman muda atau batang dekat tanah dan menembus
ke jantung kayu dan telah membunuh 10–50%
tanaman tahun pertama di hutan tanaman di Sumatera
(Wylie dkk. 1998 dalam Nair dan Sumardi 2000).
Penggerek Xystrocera festiva dilaporkan menyerang
tanaman mangium pada sistem wanatani di Jawa
Timur dan tanaman industri di Sumatera Selatan
di mana hingga 11% tanaman telah terinfeksi (Matsumoto
1994). Serangan serangga semacam ini dapat
dikendalikan dengan penyemprotan insektisida pada
tanaman yang terserang (Old dkk. 2000).
Laju Pertumbuhan
Informasi mengenai laju pertumbuhan
mangium dari
berbagai kondisi (lokasi, umur dan jarak tanam) yang
diambil dari berbagai sumber pustaka disajikan pada.
Secara umum, diameter rata-rata meningkat
cukup cepat hingga 15 cm pada tegakan berumur
kurang dari 3 tahun. Laju pertumbuhan kemudian
melambat setelah tahun ke-lima, dan pada umur 8
tahun diameter mulai tetap pada kisaran 25 cm.
Pertumbuhan tinggi juga menunjukkan kecenderungan
yang sama seperti pertumbuhan diameter.
Pada umur 2–3 tahun, tinggi meningkat sedang
hingga 10–15 m dan kemudian meningkat tajam
hingga 25 m pada umur sekitar 5 tahun, setelah itu
tinggi mulai tetap
Hubungan antara Diameter dan Tinggi
Diameter dan tinggi merupakan ukuran
inventarisasi yang
penting untuk menduga volume pohon. Meskipun
demikian, pengukuran tinggi pohon relatif lebih
sulit dan mahal. Pengukuran tinggi biasanya hanya
dilakukan pada beberapa pohon contoh saja dalam plot.
Oleh karena itu, kuantifikasi hubungan antara
diameter dan tinggi pohon sangat diperlukan untuk
menduga tinggi pohon-pohon lain yang tidak
diukur tingginya. Siregar dan Djaingsastro (1988)
membuat analisis hubungan antara diameter setinggi
dada (D) dan tinggi total (H) untuk tanaman mangium
muda (<2 tahun) yang tumbuh di plot percobaan
penanaman mangium di Lampung dan menyusun
model sederhana berikut:
H (cm) =
-8,4052 + 120,0915 D (mm) Model
yang disusun ini mungkin kurang dapat diandalkan
untuk menduga tinggi pohon mangium yang
lebih tua, karena pertumbuhan tinggi awal (seperti
yang digunakan untuk menyusun model ini)
kemungkinan masih tidak menentu dan sangat tergantung
pada faktor-faktor lain, selain kualitas tempat
tumbuh, seperti kondisi stok awal, kualitas bibit dan
teknik penanaman. Selain itu, penggunaan diameter
sebagai peubah penduga tunggal untuk memprediksi
tinggi pohon total mungkin membatasi penggunaan
model tersebut hanya untuk tegakantegakan dimana
data dikumpulkan. Hubungan diameter-tinggi
mungkin bervariasi dari tegakan ke
tegakan, dan bahkan dalam tegakan yang sama, karena
hubungan diameter-tinggi pada tegakan yang sama
mungkin tidak konstan dari waktu ke waktu, dan
perkembangan tinggi mungkin lebih lambat pada tempat
tumbuh yang berkualitas buruk daripada di tempat tumbuh
yang berkualitas baik.
Model yang disusun memungkinkan keragaman tinggi di
dalam kelas-kelas diameter tergantung pada umur
tegakan dan kualitas tempat tumbuh, sehingga memberikan
hasil prediksi tinggi pohon yang lebih realistis
daripada model yang hanya memasukkan peubah
diameter saja. Penyertaan peubah tegakan tambahan
juga meningkatkan hasil prediksi yang signifikan
daripada hanya menggunakan diameter. Model
yang tersusun memiliki karakteristik berikut: (1)
tinggi pohon akan meningkat dengan laju peningkatan
menurun seiring dengan meningkatnya DBH, (2)
pada DBH tertentu tinggi akan meningkat dengan
laju peningkatan menurun seiring dengan meningkatnya
umur pohon, dan (3) pada DBH dan umur
tegakan tertentu, tinggi akan meningkat seiring
dengan meningkatnya kualitas tempat tumbuh
Pendugaan Volume Batang
Beberapa model penduga volume batang
mangium dari
berbagai lokasi di Indonesia disajikan pada. Model tersebut merupakan pendugaan
dari diameter setinggi dada (D) atau
kombinasi antara diameter
dan tinggi pohon total (H), atau dari panjang
batang diukur ke batas minimum diameter tertentu,
seperti 4 cm (Soemarna dan Bustomi 1986, Wahjono
dkk. 1995), dan 7 cm (Bustomi 1988, Wahjono
dkk. 1995, Krisnawati dkk. 1997). Model tersebut
digunakan untuk menyusun tabel volume batang,
baik tabel volume dengan satu peubah DBH, atau
tabel volume dengan dua peubah yang menduga
volume untuk DBH tertentu pada berbagai ketinggian.
Meskipun demikian, model-model tersebut
disusun dengan menggunakan data dari tegakan
muda (umumnya berumur 5 tahun) dan dengan
batas diameter ujung yang tetap, sehingga kemungkinan
tidak memadai untuk digunakan dalam menduga
volume batang pohon-pohon yang lebih tua atau
lebih muda dari umur pohon contoh, dan mungkin
juga tidak fleksibel jika terjadi perubahan standar
ukuran kayu komersial.
Masalah
Pemasaran : para tukang yang lebih memilih kayu yang dieksport
karena harga dan kualitasnya yang lebih bagus
Solusi
Menurunkan faktor produksi sehingga kayu
lebih murah.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1.
Luas areal hutan tanaman
mangium di Indonesia dilaporkan
mencapai 67% dari total luas areal hutan tanaman
mangium di dunia
2. Mangium
juga diusahakan oleh rakyat (petani) dalam
skala kecil
3. 80% dari
areal hutan tanaman di Indonesia yang
dikelola oleh perusahaan negara dan swasta terdiri
dari mangium
4. Sekitar
1,3 juta ha hutan tanaman
mangium telah dibangun di Indonesia untuk tujuan
produksi kayu pulp
5.
Keunggulan dari jenis ini
adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas
kayunya yang
baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai
jenis tanah dan lingkungan
infonya bermanfaat sekali, makasih gan
BalasHapusWaktu berbunga di bulan apa ya?
BalasHapus