Oleh : Samuel Hermanto Sirait
NIM : 111201045
NIM : 111201045
BAB
I
PENDAHULUAN
1.2
Latar Belakang
Kelapa (Cocos
nucifera) merupakan tanaman perkebunan atau industri berupa pohon batang
lurus dari famili Palmae. Kelapa ini banyak terdapat di negara-negara Asia yang menghasilkan 52.127.000 ton (85,32%) produksi
dunia dalam bentuk kelapa segar dengan luas ± 9.361.000 ha (2008). Indonesia
merupakan negara penghasil kelapa terluas dunia pada urutan ke-2 menurut data
rata-rata FAO 2004-2008 yang tersebar di Riau, Sulut, Jatim, Jateng, Jabar,
Sulteng, Sulsel, Lampung, Jambi dan Maluku, tapi produksinya paling tinggi di
dunia yaitu sebesar 18,16 juta ton. Kelapa
merupakan komoditas unggulan Jawa Barat yang memiliki produktivitas 150.818 ton
pada tahun 2008. Dengan luas perkebunan mencapai 186.030 ha yang di gunakan
untuk komoditas kelapa itu sendiri. Potensi pengembangan komoditas kelapa yang
terbesar ialah Kabupaten Ciamis yaitu sebesar 70.315 ha luas lahan yang di
gunakan. Hampir disetiap perkarangan rumah di Kabupaten ciamis terdapat tanaman
kelapa.
1.2
Maksud dan Tujuan
Maksud
dan tujuan di buatnya makalah ini adalah untuk mengamati lebih jauh
permasalahan-permasalahan yang ada pada tiap subsistem dalam perkebunan kelapa dan
sebagai salah satu tugas matakuliah Agribisnis Tanaman Hutan, di Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
.
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Agribisnis
Kelapa Di Indonesia
Tidak berlebihan kiranya bila
dikatakan bahwa kelapa merupakan komoditas yang paling luas penyebarannya di
wilayah Nusantara. Kelapa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat dengan peran yang berbeda-beda, mulai dari untuk pemenuhan
kebutuhan sosial dan budaya sampai untuk kepentingan ekonomi, sehingga dijuluki
tree of life, pohon kehidupan. Status yang demikian membuat
bentuk usaha tani kelapa yang berkembang di masyarakat berbedabeda pula,
bergantung pada tujuan yang mendasarinya.
Areal kelapa yang mencapai 3,74 juta
ha atau 27% dari total areal perkebunan merupakan tanaman perkebunan yang
terluas saat ini (Tondok 1998). Luasan ini tentunya tidak termasuk tanaman
kelapa yang tumbuh dan berkembang secara alami di berbagai pulau yang dihuni
atau tidak dihuni oleh manusia. Sekitar 3,59 juta ha atau 96% merupakan
perkebunan rakyat yang diusahakan secara monokultur atau polikultur dan atau
pekarangan, dengan melibatkan sekitar 20 juta jiwa (Kasryno et al. 1998,
Sulistyo 1998).
Produktivitas aktual perkebunan kelapa
rakyat masih sangat rendah karena diusahakan secara tradisional. Perkembangan
usaha tani kelapa sangat lambat atau tidak ada perkembangan sama sekali.
Tragisnya, nilai tukar produk utama kelapa malah menurun dengan munculnya
substitusi dari komoditas lain. Lambatnya perkembangan usaha tani kelapa
bukanlah disebabkan tidak tersedianya teknologi, tetapi lebih ditentukan oleh
status petani dan status kelapa itu sendiri.
Tingkat pendidikan, wawasan, dan
ekonomi petani sangat mempengaruhi perkembangan usaha tani kelapa, demikian
pula dengan asal muasal dari kebun tersebut. Petani yang memperoleh kebun
kelapa dari warisan biasanya hanya memungut hasilnya saja, tidak akan
memperhatikan pemeliharaannya. Berbeda dengan petani yang membangun kebun
kelapa dengan menanam sendiri akan mengurus kebunnya dengan baik. Kondisi yang
demikian diperburuk lagi oleh karakter yang dimiliki tanaman kelapa. Kelapa
Dalam lokal dengan proporsi 95,8% dari luas areal kelapa di Indonesia, dalam
kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai akan tetap berbuah walaupun tidak
dipelihara. Banyak lagi karakter lain yang tidak merangsang petani untuk
melakukan pemeliharaan.
Kenyataan ini sangat kontroversial
bila dibandingkan dengan potensi sumber daya fisik dan biologik yang dimiliki
oleh perkebunan kelapa untuk dikembangkan menjadi usaha yang padat teknologi,
padat modal, dan sekaligus padat karya, yang barangkali tidak dijumpai pada
komoditas perkebunan lainnya. Mayang dan buah kelapa dapat menghasilkan
berbagai produk primer dan sekunder, bahkan produk tersier untuk keperluan
pasar domestik dan ekspor. Batangnya untuk kayu pertukangan, bagian tanaman
yang lain dipakai untuk keperluan sosial dan budaya, sedangkan lahan di antara
pohon kelapa sangat potensial untuk kegiatan usaha tani lain, seperti penanaman
tanaman sela dan peternakan.
2.1.1.
Potensi Perkebunan Kelapa
· Luas Areal
Kelapa diusahakan di seluruh
provinsi di Indonesia
yang tersebar pada ketinggian 0-700 m dpl, pada tanah mineral sampai tanah
gambut, beriklim basah sampai kering. Areal terkonsentrasi di tiga wilayah,
yaitu Sumatera (32,8%), Jawa dan Bali (26,2%), serta Sulawesi
(18,4%). Data sementara menunjukkan bahwa luas areal kelapa tahun 1996 mencapai
3.745.486 ha, menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan areal kelapa terluas dan sekitar sepertiga areal kelapa
dunia berada di Indonesia. Kelapa yang diusahakan sebagian besar adalah kelapa
Dalam lokal (95,8 %), sedangkan sisanya adalah kelapa hibrida terutama kultivar
PB-121. Dalam kurun 30 tahun (1967-1996), luas areal kelapa bertambah dengan
laju pertumbuhan 3,1%/tahun.
· Produksi
Produksi kelapa secara
nasional meningkat rata-rata 3,0%/tahun dalam periode 1967-1996. Pada tahun
1996, produksi kelapa Indonesia
mencapai 2.718.902 tonsetara kopra. Peningkatan produksi ini terutama
disebabkan oleh peningkatan luas areal sebesar 3,1%. Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa produktivitas tanaman kelapa Dalam yang relatif tetap pada
tingkat 1,1 ton setara kopra/ha/tahun, sedang kelapa hibrida selama 3 tahun
terakhir telah melampui 1 ton setara kopra/ ha. Pada perkebunan besar negara
dan swasta justru terjadi penurunan produktivitas rata-rata terutama 8 tahun
terakhir.
· Potensi Lahan
Pengusahaan kelapa secara monokultur tidak efisien dalam
memanfaatkan potensi lahan dan tenaga kerja keluarga yang tersedia. Tanaman
kelapa umumnya ditanam dengan jarak berkisar antara 7 m x 7 m sampai 10 m x 10
m untuk kelapa Dalam dengan kepadatan rata-rata sekitar 130-180 pohon/ha.
Tanaman kelapa yang diusahakan secara intensif pada kondisi optimal
menghasilkan buah sekitar 100-200 butir/ pohon/tahun. Produksi bahan kering
tahunan sekitar 5,1-9,7 g/m2/hari. Laju tumbuh tanaman pada lingkungan yang
optimal berkisar antara 15 -35 g/m2/hari (De Vries dalam Akuba dan
Rumokoi 1997). Laju produksi bahan kering berbanding lurus dengan energi
radiasi surya yang dimanfaatkan, sehingga data yang dikemukakan menggambarkan
bahwa tanaman kelapa yang diusahakan secara monokultur walaupun dengan masukan
yang tinggi, tidak efisien dalam memanfaatkan radiasi surya. Radiasi surya yang
diteruskan dan tidak dicegat oleh tanaman berkisar antara 5-85%, bergantung
pada umur tanaman.
Tanaman kelapa hanya menggunakan 30-40% dari ruang di atas tanah
(air space) selama hidupnya, yang berarti tingkat penutupan rendah,
sehingga risiko pencucian unsur hara melalui erosi tinggi. Kedalaman akar
terkonsentrasi pada lapisan tanah setebal 30-120 cm dalam radius 2 m (Reynolds
1995), yang berarti ada sekitar 70-75% tanah tidak digunakan. Anilkumar dan
Wahid (1988) dengan menggunakan isotop P untuk menentukan pola aktivitas akar tanaman
berumur 9 tahun, mendapatkan 80% akar aktif berada pada radius 2 m sekitar
pohon pada kedalaman 25-60 cm. Hal ini berarti efisiensi penggunaan lahan oleh
tanaman kelapa sangat rendah dan berdampak terhadap penggunaan tenaga kerja
yang tidak efisien.
Efisiensi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan kelapa
monokultur rendah. Hasil penelitian di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa tenaga
kerja keluarga yang tersedia rata-rata di daerah sentra produksi sebanyak 51
HOK/bulan. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani kelapa dan usaha tani
lainnya sebanyak 24,7 HOK/bulan atau 48,4% dari tenaga kerja tersedia. Jumlah
jam kerja berkisar antara 2-8 jam/hari (Akuba et al. 1992). Pengusahaan
kelapa produktif yang intensif memerlukan tenaga kerja rata-rata 120 HOK/ha/tahun.
Fattah (1984) menyatakan bahwa di Sulawesi Tengah, tenaga kerja yang digunakan
dalam pengusahaan kelapa sebanyak 62,6 HOK/ha/ tahun dan 45 HOK di antaranya
adalah tenaga kerja keluarga. Gambaran kelebihan tenaga kerja umumnya hanya
terjadi di daerah pertanaman kelapa di lahan kering, sebaliknya di lahan pasang
surut terjadi kelangkaan tenaga kerja.
· Tanaman Sela dan Ternak
Pertanaman kelapa monokultur
menyediakan lahan dan ruang yang luas di atas tanah. Lahan yang tersisa
tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela dan ternak. Masalah yang
dihadapi adalah kurangnya radiasi surya akibat naungan dari tajuk kelapa yang
berpengaruh terhadap unsur iklim mikro lainnya seperti suhu, kelembapan udara,
dan angin. Jenis tanaman dan ternak yang diintroduksi harus memenuhi
persyaratan berikut:
1.
Tanaman sela tidak lebih tinggi dari tanaman kelapa selama
periode pertumbuhannya, serta sistem perakaran dan tajuknya menempati horison
tanah dan ruang di atas tanah yang berbeda.
2.
Tanaman sela tidak merupakan tanaman inang bagi hama
dan penyakit kelapa yang berbahaya, dan tanaman sela tidak peka dari tanaman
kelapa terhadap serangan hama
dan penyakit tersebut.
3.
Pengelolaan tanaman sela
dan ternak tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa, terjadinya erosi, dan
kerusakan tanah.
4.
Tanaman sela sesuai untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m
dpl, dengan kisaran curah hujan 1.500-3.500 mm/ tahun dan bulan kering (curah
hujan <130 mm) maksimal 3 bulan berturutturut.
5.
Tanaman sela toleran terhadap naungan dengan intensitas radiasi
50-200 W/ m2, suhu rata-rata 25o-27o C, dan kelembapan 80%.
Pengembangan tanaman sela dan ternak di bawah kelapa memiliki
beberapa keuntungan, yaitu: (1) meningkatkan dan menganekaragamkan sumber
pendapatan petani; (2) meningkatkan hasil pertanian dan produksi pangan; (3)
memperkecil biaya pemeliharaan tanaman kelapa; (4) mempersingkat waktu berbuah
kelapa karena pertumbuhan yang baik; (5) memperluas kesempatan kerja di
pedesaan; (6) memperkecil risiko kerusakan akibat serangan hama dan penyakit; (7)
meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah serta memperkecil erosi; (8)
naungan kelapa berpengaruh positif terhadap ternak akibat menurunnya suhu
sehingga ternak terhindar dari cekaman panas; dan (9) limbah hasil pertanian
meningkat yang dapat digunakan sebagai pakan.
·
Hasil
Samping
Sasaran pengembangan
agroindustri di pedesaan antara lain adalah untuk menjamin pemasaran produk
petani dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani. Ketersediaan
teknologi tepat guna skala pedesaan yang diintegrasikan dengan industri yang
lebih besar atau industri pengolahan lanjut akan memungkinkan pengembangan
pola-pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pihak industri.
Perkembangan teknologi telah
mengubah arah industri pengolahan daging kelapa dari minyak makan menjadi
produk-produk pangan lain dan industri kimia yang memiliki nilai tambah tinggi.
Di samping itu, telah berkembang teknologi pemanfaatan bagian lain tanaman
kelapa yang semula merupakan limbah menjadi produk-produk yang memiliki pasar,
baik di dalam negeri maupun ekspor, seperti sabut, tempurung, nata de coco,
mebel, gula, dan alkohol. Tersedianya teknologi skala kecil yang efisien, baik
yang menghasilkan produk akhir maupun produk antara untuk diolah lebih lanjut
dalam industri besar, memungkinkan pengembangan agroindustri hingga ke
pedesaan. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk mengolah produk-produk
dari kelapa di luar minyak, tetapi tingkat investasinya relatif masih terbatas.
Salah satu kelebihan kelapa adalah memungkinkan dibangun suatu industri terpadu
mulai dari produk sekunder hingga produk akhir. Industri berbahan baku kelapa dengan produk
utama bukan minyak makan baru terdapat di beberapa daerah seperti Riau,
Lampung, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan.
Meskipun berbagai teknologi
produk berbahan baku
kelapa telah tersedia dan beberapa pabrik telah beroperasi, ternyata petani
belum dapat merasakan manfaat dari peningkatan nilai tambah tersebut. Petani
baru berperan sebagai penyedia bahan baku ,
berupa kopra atau kelapa butiran segar bagi industri pengolahan. Pemerintah
telah mengembangkan pola-pola kemitraan antara petani dan investor seperti PIR
kelapa, tetapi ternyata belum membuka peluang bagi petani untuk ikut memperoleh
manfaat dari peningkatan nilai tambah yang ditimbulkan oleh industri. Dalam
rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pengembangan
agroindustri berbasis kelapa di pedesaan, teknologi hasil kegiatan penelitian
dapat menjadi faktor kunci. Ketersediaan teknologi tepat guna skala pedesaan
yang diintegrasikan dengan industri yang lebih besar atau industri pengolahan
lanjut, akan memungkinkan pengembangan pola-pola kemitraan yang saling
menguntungkan antara petani dan pihak industri. Dengan demikian, akan tercipta
suatu sistem agroindustri yang memungkinkan petani dan pengusaha menikmati
nilai tambah secara adil dan wajar.
·
Manfaat Lain
Sampai dengan Pelita VI,
kultivar-kultivar kelapa yang dikembangkan sangat terbatas pada kelapa Dalam
dan hibrida. Penggunaan kultivar-kultivar ini ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan industri pengolahan kelapa yang pada umumnya menghasilkan produk
tradisional seperti minyak kelapa dan kelapa parut kering. Akibat peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan perkembangan teknologi, produk-produk yang dibutuhkan
makin beragam. Hal ini menghendaki karakteristik kelapa yang berbeda. Kelapa
tidak hanya diperlukan untuk industri pangan dan nonpangan, tetapi juga
berfungsi sebagai tanaman hias dan minuman penyegar.
Kultivar kelapa yang cocok
untuk kedua fungsi ini adalah kelapa Genjah karena karakteristik yang
dimilikinya, yaitu penampilan tanaman yang berbatang pendek dan mahkota daun
yang lebih kecil daripada kelapa Dalam dan hibrida. Ukuran buah kecil, warna
buah menarik, daging dan air buah berasa manis, serta berbuah lebih cepat.
Kultivar kelapa Genjah yang telah dikoleksi di Instalasi Penelitian Kelapa
Mapanget, Sulawesi Utara sebanyak 19 kultivar. Kultivar-kultivar tersebut di
arahkan pengembangannya ke pinggiran kota ,
daerah wisata, dan lahan pekarangan.
2.2
Permasalahan Masing-Masing
Komoditas (6 Sub-Sistem)
2.2.1.
Pengadaan Dan Penyaluran Saprotan
·
Para
petani kelapa masih susah untuk mendapatkan bibit unggul.
·
Terjadinya
alih fungsi lahan perkebunan kelapa, seperti dijadikan arena balapan kuda.
·
Usaha pengendalian hama dan penyakit yang menimbulkan kerugian pada kelapa belum dilakukan oleh petani kelapa karena keterbatasan
pengetahuan, alat serta bahan.
2.2.2.
Budidaya Dan Usahatani
·
Sejak beberapa dekade belakangan ini
dirasa tidak ada kepedulian dan keberpihakan pemerintah, dalam upaya
mengembangkan budidaya tanaman kelapa di Indonesia . Dibanding negara lain,
dalam pengembangan budidaya tanaman kelapa di Indonesia , kelemahannya ada di
peraturan. Jadi peraturan yang dibuat pemerintah kurang mendukung pengembangan
budidaya tanaman kelapa. Seharusnya pemerintah memberi kemudahan, proteksi, dan
ada keberpihakan serta kepedulian terhadap upaya pengembangan budidaya tanaman
kelapa.
·
Tingkat ketahanan kelapa hybrida lebih rendah
dibanding kelapa lokal, ketika tanaman ini tergenang air hanya
beberapa hari saja, daunnya sudah menguning dan hampir mati. Tidak demikian
halnya dengan kelapa lokal, memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi.
Pemeliharaannya pun tidak terlalu rumit. Sepanjang drainasenya lancar, diberi
garam bercampur turusi, tanaman kelapa lokal mampu berproduksi tinggi, umur kelapa lokal juga lebih panjang dan
pemeliharaannya yang tidak rumit sedangkan kelapa hybrida umurnya lebih pendek
dan harus
diberi pupuk supaya subur dan berbuah banyak.
·
Sementara
ini tanaman kelapa di Indonesia masih dianggap sebagai tanaman keturunan dari
orang tua dan tidak ada peremajaan sama sekali, sehingga tingkat
produktifitasnya juga menurun.
2.2.3.
Pengolahan Hasil Atau Agroindustri
·
Pengolahan kelapa
di tingkat petani
terbatas pada pengolahan kopra atau
minyak kelapa ataupun kelapa dijual dalam
bentuk butiran.
·
Tidak
adanya perkembangan bahkan makin sedikitnya Industri hulu kelapa
dalam rangkaian industri kelapa, meliputi kelapa segar, kopra hitam dan putih.
Sedangkan industri kelapa antara
merupakan
industri kelapa yang memproses bahan baku
menjadi produk-produk turunan, seperti tempurung kelapa, copra meal, desiccated
coconut.
·
Permasalahan yang dihadapi industri
pengolahan kelapa yaitu
persoalan bahan baku .
Saat ini tingkat pertanaman kelapa yang tidak produktif karena sudah tua dan
rusak mencapai 30°/o-40% dari areal perkebunan kelapa rakyat. Produktivitas
tanaman kelapa masih sangat rendah, yaitu sekitar 4.200 butir/ha atau setara
0,83 ton kopra/ha. Pasokan bahan baku
terbatas dari segi jumlah maupun mutu.
·
Pemanfaatan kayu kelapa belum dimaksimalkan dengan
baik atau masih kurangnya konsep bagaimana memanfaatkan
batang kelapa
·
Harga
nominal kelapa relatif makin turun, sehingga pertambahan input tidak akan
meningkatkan nilai tambah. Utilitas kapasitas produksi Industri olahan kelapa
masih rendah sekitar 40%. Produk olahan kelapa yang dihasilkan hanya belasan
jenis, sedangkan di Filipina mencapai 100 jenis produk.
2.2.4.
Pemasaran Hasil
·
Harga juah buah kelapa lokal juga lebih
tinggi dibandingkan dengan harga jual buah kelapa hybrida. Alasannya terletak
pada besar ukuran dan kandungan santan yang dimiliki. Kata sebagian petani,
santan kelapa hybrida jauh lebih encer dibandingkan dengan santan kelapa lokal.
Karena itu, di tengah masyarakat sangat jarang ada warga yang menjual santan
parut dari kelapa hybrida.
·
Di
bidang pemasaran kendala yang ada, industri kelapa kalah bersaing dengan minyak
goreng sawit Kontribusi minyak goreng kelapa hanya 0,4 juta ton atau 12% dari
konsumsi minyak goreng nasional yang jumlahnya mencapai 3,3 juta ton. Pada
tahun 2006 nilai ekspor produk kelapa mencapai USD364.575 yang sebagian besar
masih dalam bentuk produk primer. Adanya Isu kandungan aflatoxin yang tinggi
pada kopra dan minyak kelapa yang menggunakan bahan baku
kopra hitam dari UE, dapat menghambat ekspor minyak kelapa ke pasar tradisional
USA
dan UE.
·
Jaringan pemasaran kopra dan minyak
goreng kelapa dum, kebanyakan dikuasai oleh para broker, sementara pasar
produk-produk turunan kelapa dunia secara umum dikuasai Filipina.
2.2.5.
Prasarana
·
Terbatasnya
infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi,
telekomunikasi, pelabuhan, dll.
·
Sarana informasi yang masih terbatas
membuat petani kelapa minim akan informasi pasar sehingga petani hanya sebagai
penerima harga dan bukan sebagai pembuat harga.
·
Sarana pendidikan seperti pelatihan atau
pemberdayaan yang minim daya nalar
petani kita umumnya belum mampu memasukkan pertmbangan-pertimbangan ekonomi
dalam pengelolaan usahataninya Mereka sulit memahami bahwa kelapanya
yang sudah tua tetapi tetap berbuah, sebenarnya sudah tidak efisien dan
ekonomis lagi. Disamping itu, tidak mudah bagi mereka untuk membayangkan
prospek jauh kedepan dari program dari lembaga terkait yang ditawarkan.
2.2.6.
Kelembagaan Penunjang
·
Kurangnya
perhatian pemerintah terhadap lembaga penelitian, selain
lembaga penelitian kelapa tidak diurusi, tenaga ahli peneliti kelapa juga tidak
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Akibatnya para peneliti utama harus
bekerja keras di luar penelitian, guna mendapatkan tambahan pendapatan.
·
Keberadaan
asosiasi petani sebagai wadah petani dalam melayani kebutuhan ataupun
memperjuangkan aspirasi petani berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani belum dirasakan manfaatnya oleh anggota.
·
aktivitas asosiasi petani juga masih
sangat tergantung dari fasilitas Pemerintah. Ini menunjukkan karena
ketidakmampuan asosiasi petani untuk menggali sumber pendanaan. Kondisi seperti
ini disebabkan karena adanya berbagai kendala yang dihadapi seperti belum
tersedianya perangkat pendukung organisasi baik fisik maupun finansial,
keterbatasan penguasaan teknologi, akses terhadap sumber permodalan dan pasar
serta terbatasnya kapabilitas pengurus.
2.3
Peran
Kelembagaan Dalam Memecahkan Masalah Yang Dihadapi Di Setiap Sub Sistem
2.3.1
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pengadaan Saprotan
·
Dinas perkebunan menggalakan program
penyediaan benih jangka pendek dapat dilakukan melalui pemanfaatan kelapa Dalam
unggul lokal, pemerintah
memberikan bantuan untuk kekurangan akan bibit tersebut untuk mencegah alih
fungsi lahan perkebunan kelapa yang terus meningkat.
·
Departemen
Pertanian berusaha untuk menyediakan bibit unggul yang berasal dari kebun induk, terutama kebun induk
kelapa Dalam komposit (KIKDK). Pembangunan Kebun Induk Kelapa
Dalam Komposit dilakukan dalam bentuk waralaba benih di mana petani, pengusaha
PEMDA dan pengguna lainnya
sebagai penerima waralaba dan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan
Palma sebagai pemberi waralaba. Pembangunan KIKDK dengan
mengikutsertakan petani/asosiasi petani dan PEMDA akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan
pendapatan, mendorong komersialisasi perbenihan, dan meningkatkan
pendapatan asli daerah serta mendukung percepatan pelaksanaan
otonomi daerah.
·
Departemen
Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Daerah secara bertahap berusaha untuk
melakukan penyuluhan tentang cara pengendalian hama
dan penyakit kepada para petani kelapa kemudian menyediakan alat dan bahan
untuk pengendalian hama
dan penyakit tersebut.
2.3.2
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Budidaya
·
Asosiasi
petani kelapa mendesak pemerintah agar melakukan intervensi terhadap pengembangan budidaya kelapa dengan membuat strategi dan
kebijaksanaan yang sesuai dengan kondisi dewasa ini dan
perkembangan situasi pada waktu mendatang yang bertumpu pada
mekanisme pasar.
·
Departemen
Pertanian melalui Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus melakukan
pengembangan benih agar menghasilkan benih unggul bagi petani. Departemen
pertanian juga berusaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan
budidaya kelapa khususnya pada budidaya kelapa hibrida yang membutuhkan
penanganan yang lebih baik dari petani.
·
Pemerintah daerah berusaha
menjembatani pembangunan kemitraan dalam bentuk usaha bersama antara pengusaha
dengan petani kelapa sehingga para petani tertarik untuk mengembangkan dan
membudidayakan pohon kelapa yang dimilikinya.
2.3.3
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pengelolaan Hasil
·
Pemerintah
melalui Departemen pertanian berusaha meningkatkan produktivitas kelapa
melalui program intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan;
khusus program peremajaan diintegrasikan dengan
pengembangan industri mebel dan rumah dari kayu kelapa.
·
Pemerintah
daerah berusahan memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan
swasta atau BUMN dalam membangun industri
kelapa terpadu dan/atau parsial.
·
Departemen
Pertanian melakukan Inventarisasi dan konsolidasi areal perkebunan
kelapa ke dalam unit-unit manajemen
yang memenuhi skala ekonomis untuk pengembangan industri kelapa
terpadu di setiap sentra produksi kelapa dalam bentuk Kawasan
Agribisnis Masyarakat Perkebunan (KAMBUN) sebagai media
pengembangan agribisnis kelapa terpadu.
·
Departemen
Pertanian menentukan dan menetapkan lokasi-lokasi industri kelapa
terpadu dalam Kawasan
Agribisnis Masyarakat Perkebunan (KAMBUN) di setiap sentra produksi kelapa dengan kriteria utamanya adalah
daya saing dari produk yang dihasilkan, baik terhadap produk
subtitusinya di dalam negeri maupun produk impor.
2.3.4
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pemasaran Hasil
·
Pemerintah
meberlakukan kebijakan fiskal berupa keringanan pajak dan restribusi
yang memberatkan usaha
agribisnis perkelapaan.
·
Departemen
Pertanian mengembangkan networking antar asosiasi petani, antar
asosiasi petani dengan
asosiasi perusahaan pengolahan, dan pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis
kelapa.
·
Departemen
Pertanian membangun kelembagaan semacam “Coconut Board” sebagai “services provider” bagi para
pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan.
2.3.5
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Prasarana
·
FAO (food Agriculture Organization)
dalam membantu penyediaan sarana teknologi untuk pengolahan bahan baku kelapa menjadi gula
kelapa pada kabupaten banjar.
2.3.6
Peran
Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Kelembagaan Penunjang
·
Pemerintah
Daerah dan Departemen pertanian mengembangkan kelembagaan petani
sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif,
khususnya dalam hal penerapan teknologi baru atau pola pengembangan
perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis dalam bekerjasama.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.2
Kesimpulan
Tanaman
Kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman perkebunan sekaligus bagian
dari tanaman industri yang memiliki banyak sekali manfaat bagi penunjang
kebutuhan manusia. Tanaman ini dapat menghasilkan buah yang dapat diturunkan
menjadi berbagai kebutuhan manusia seperti nata de
coco, gula, dan alcohol. Selain dari buahnya, dari pohon kelapa tersebut dapat
menghasilkan beberapa kebutuhan manusia seperti sabut, tempurung, dan arang
aktif dari tempurung kelapa tersebut.
3.3 Saran
Perlunya dukungan pemerintah
dalam memberikan modal untuk industri pengolahan kelapa bagi masyarakat yang
melakukan pengelolaan komoditi ini, sehingga sektor agribisnis tanaman kelapa
ini dapat berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Kelapa (Edisi Kedua). Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal
Perkebunan. 1996. Statistik Perkebunan Kelapa
di Indonesia Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta
Departemen
Pertanian Republik Indonesia .
2005. Prospek dan Arahan Pengembangan Agribisnis Kelapa. Diakses dari : http://www.litbang.deptan.go.id/
[20 Juni 201] [14.00 WIB]
Jumar. 2008.
Agribisnis Tanaman Kelapa. Grafindo Persada. Jakarta
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut