Kamis, 06 Juni 2013

Jaring Halus: Menjamu Penguasa Laut

Posted by Unknown On 07.10 | 1 comment




Pasokan air tawar menjadi dilema walaupun mereka berada di atas ”lumbung” air. Air tawar diperoleh dari sumur bor milik pribadi atau pemerintah. Mereka selalu minum dengan air setengah merah dan mengandung kadar garam. Tapi untuk urusan listrik, PLN masih bersedia memberikan jasa walaupun biaya operasionalnya sangat tinggi karena peralatan listrik yang mereka pasok selalu digerogoti sifat korosif. 
Untuk urusan olahraga, lain pula ceritanya. Mereka menyiapkan lahan yang paling datar yang mereka punya untuk lapangan sepak bola. Tapi tetap saja lapangan ini masih dikuasai pasang surut air laut. Akhirnya ia menjadi lapangan sepakbola satu-satunya di dunia yang berada di atas air.
Tenis meja menjadi pilihan lainnya mengingat ruang desa yang sempit. Anak muda bermain gaya ”musang”. Meja tenis dibuka siang hari dan ditutup jam lima pagi. Ada delapan meja yang siap pakai dan turut meramaikan malam di desa ini. Olahraga dijadikan pekerjaan iseng untuk menunggu pasang air laut sebagai tanda ”pulang” ke laut.
Cerbung, Rezeki Sekampung
Nelayan Pulau Jaring Halus menghadapi rezeki laut yang tak tentu. Untunglah mereka punya cerbung, tetapi bukanlah ”cerita bersambung”, melainkan jenis ikan yang jumlah tangkapannya tergolong stabil. Cerbung merupakan komoditas ikan yang paling banyak ditangkap di Jaring Halus. Puluhan boat berangkat setiap hari dengan masing-masing mempekerjakan minimal 3 anak kapal dan satu juragan. Kapal-kapal ini akan membawa pulang dua ratusan kg hingga 1 ton ikan cerbung per harinya.
Ikan cerbung dan kasai (jenis yang hampir sama) kemudian diolah menjadi produk setengah jadi oleh ibu-ibu dan gadis-gadis Melayu kampung. Mereka membeli cerbung ke toke Rp 2.000/kg tanpa uang. Industri rumah tangga ini mengolah 10 kg hingga 100 kg cerbung per harinya, tergantung pada jumlah anggota keluarga. Jadi, jargon ”banyak anak banyak rezeki” memang berlaku di sini.
Setelah disiangi, ikan dijemur sampai kering. Kemudian dijual ke toke awal dengan potongan harga pembelian saat pengambilan. Harga jual Rp 25.000/kg. Di Medan, ikan-ikan ini kemudian dijual lagi oleh swalayan Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per ”bungkus”. Lain lagi dengan harga ekspor.
Ikan cerbung menjadi penyelamat kampung di musim paceklik, karena cerbung bukan seperti belangkas yang hilang di pasang mati walaupun penjualannya sudah menembus perdagangan internasional.

Jamu Laut
Pertengahan Januari 2010 lalu, Jaring Halus menggeliat. Tiba-tiba roda kehidupan di desa ini semakin kencang. Mereka menyiapkan sesuatu. Kata ”mudik” semakin sering terdengar di antara percakapan penduduk sebelum tanggal 24 Januari, di mana upacara Jamu Laut akan digelar. Mudik mempunyai arti terbalik untuk Desa Jaring Halus, yakni meninggalkan desa untuk menghindari pantangan.
Mudik adalah kegiatan yang cukup dekat dengan Jamu Laut yang sudah dimusyawarahkan penduduk tiga bulan sebelum hari H. Jamu Laut atau syukuran laut adalah seremoni tiga tahunan yang rutin dilakukan masyarakat Jaring Halus. Dalam pelaksanaannya, dibacakan tahlil, tahtim dan doa.
Jamu Laut juga dilakukan di daerah-daerah pesisir timur Sumatera lainnya seperti di Pantai Labu, Belawan, dan Tanjungbalai. Kegiatan ini dipimpin seorang pawang laut. Pawang laut yang akrab dipanggil dengan ”atok pawang” atau ”atok” saja ini adalah orang yang dimuliakan di kampung karena kemampuannya dalam supranatural. Pawang laut tidak dipilih secara demokrasi, tapi secara turun menurun. Atok pawang ini kelak akan menurunkan tahtanya ke keturunannya. Biasanya setelah pawang meninggal, pihak keluarga akan bermusyawarah untuk memilih pengganti pawang. Pawang baru yang terpilih tidak boleh menolak pilihan keluarga karena akan berakibatfuaka. Di Pulau Jaring Halus sendiri, ritual ini dimulai sejak tahun 1917, ketika Pawang Abu Bakar menyeberang ke Sumatera untuk mencari penghidupan baru. Seremonial ini menjadi adat yang melekat keras hingga ke keturunannya. Sekarang, cucunya yang bernama Pawang Zakaria-lah yang memimpin seremonial adat seperti Jamu Laut.
Setelah ritual utama di pantai dilaksanakan, kampung akan ditinggalkan kecuali oleh sebagian orang yang merasa dirinya bisa menahan pantangan, biasanya kaum tua. Pantangan merupakan bagian dari ritual Jamu Laut, yakni beberapa hari tidak boleh melakukan aktifitas, antara lain tidak dibenarkan melaut, tidak boleh membuang air sampan, tidak mengambil sesuatu yang jatuh, tidak masuk dan keluar kampung, tidak mengisi air ke dalam rumah, tidak minum air asin, tidak bersiul, tidak mengorek tanah, tidak memecahkan telur dan tidak berisik.
Tepat pada hari Minggu, 24 Januari 2010, pagi-pagi sekali Jamu Laut dimulai. Masyarakat berkumpul di Pantai Beting. Mereka memasak nasi, daging, sayur dan memotong kambing. Sewaktu memasak, tidak boleh mencicipi asam garam masakan. Makanan ini akan dimakan oleh semua masyarakat yang hadir. Tidak boleh membawa makanan ke luar area syukuran karena dinilai akan menggagalkan jamu.
Menurut Atok Zakaria (77 tahun), ritual Jamu Laut dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas segala sesuatu yang diperoleh dari laut serta sebagai permohonan kepada “Penguasa Laut” yang disampaikan lewat doa dan zikir bersama agar mereka terhindar dari hal-hal yang membahayakan atau bala. Ritual Jamu Laut juga merupakan perayaan hari ulang tahun Desa Jaring Halus, di mana pada hari itulah pertama sekali Desa Jaring Halus mulai dihuni.
Awalnya, Pulau Jaring Halus dihuni seorang warga Kedah, Pulau Malaka (sekarang Malaysia-red). Sebagai upacara resmi, ritual Jamu Laut dimulai ketika seorang pawang bernama Atuk Bakar mendapat perintah dari para lelembut di desa, yakni ketika desa pertama sekali dihuni tahun 1917 oleh sekitar tujuh keluarga atau 42 jiwa yang berasal dari Kedah, Kepulauan Langkawi, Malaka.
Menurut beberapa anggota masyarakat, acara Jamu Laut sudah diusulkan menjadi salah satu tujuan wisata, namun hal itu belum mendapat respon yang positif dari pemerintah. Padahal ritual seperti ini tidak mudah lagi ditemukan, dan hanya diadakan sekali dalam tiga tahun.
Mengambai“ (melambai) merupakan puncak dari ritual jamu laut. Atok Pawangmengambaikan kain putih ke arah laut sebagai simbol syukuran laut atas rezeki laut yang tak putus oleh Sang Pencipta. Kepala kambing, ayam, kemenyan dan pelengkap lainnya yang telah tersaji di balai lalu ditinggalkan di tepi laut. Dalam waktu yang sama, peserta jamu duduk menghadap kiblat. Mereka membaca tahlil, tahtim dan berdoa dengan semangat. Selanjutnya, ditutup dengan makan bersama.
Kini tinggal menunggu pantangan yang segera dimulai sewaktu Maghrib menjelang. Pantangan berlangsung satu hari dua malam. Mengingat anak-anak di sana berdarah Upin dan Ipin yang selalu ingin bermain bebas, orang tua berinisiatif membawa keluarga ke luar desa. Maka terjadilah mudik besar-besaran pada hari itu. Mudik ini jauh lebih besar dari mudik Lebaran. Lantas Pakcik, Abah, Tok Atan, Tok Inah, Ayung, Angah, Alang, Ateh, Acik dan Ucuk tersebar ke mana-mana.
Aku sendiri termasuk salah satu yang ikut arus mudik. Rasanya mudik ini sama dengan meninggalkan kampung sendiri. Wah, aku bukan sekadar menonton langsung Upin dan Ipin, tapi sudah bermain langsung dengan mereka, tentunya di Jaring Halus. ”Betui, betui, betui?”. (Di Jaring Halus, akhiran ”l” selalu diganti dengan ”i”)




1 komentar:

  1. adakah penggunaan bahasa seperti ini digunakan:
    depa
    awat
    habaq
    awai
    dak

    BalasHapus

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About