Selasa, 25 Juni 2013

Oleh   : Ceriati Magdalena Simajuntak
Nim    : 111201071


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk ke dalam sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Namun demikian, harus kita sadari bahwa sumber daya tersebut memiliki keterbatasan di dalam banyak hal, baik itu dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Dari segi kualitas, manusia dan sumber daya alam lingkungan memiliki kaitan yang erat. Ada kalanya, keadaan lingkungan menentukan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keadaan kualitas lingkungan.
Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja, bangsa-bangsa lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut hutan tropis Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan berdasarkan fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republic Demokratic Congo) dimana di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati (Dephut, 2007).
Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya namun pemanfaatannya yang tidak optimal adalah sumberdaya hutan. Sedemikian besarnya peranan sumberdaya hutan tersebut sehingga Indonesia menjadi suatu negara yang disebut sebagai paru-paru dunia. Produk-produk yang dihasilkan dari sektor ini pun mempunyai kontribusi yang penting dalam perolehan devisa negara. Faktor-faktor tersebut yakni sumberdaya hutan yang banyak tersedia dan besarnya permintaan pasar mendorong bermunculannya industri-industri pengolahan kayu, mulai dari industri penggergajian, plywood, pulp dan kertas, furniture serta industri pengolahan lainnya (Iwan, 2001).
Hutan rakyat pinus telah sejak lama dikembangkan di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas). Berawal pada tahun 1950-an, Pemerintah Daerah Sumatera Utara melaksanakan gerakan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGEM) yang mendorong masyarakat dan generasi muda untuk menanam lahan kosong yang ada dengan bibit-bibit pinus yang sudah disediakan. Pengembangan hutan rakyat pinus tersebut dilakukan pada lahan milik baik perorangan, kelompok marga/adat maupun kampung. Sejak tahun 1969 Pemerintah Indonesia melaksanakan Proyek Inpres Penghijauan sampai dengan saat ini, baik dalam bentuk hutan rakyat maupun kebun bibit desa dengan jenis tanaman didominasi oleh pinus, namun dikembangkan juga jenis kayu-kayuan lain seperti sengon, jambu mete, dan sebagainya. Pada tahun 1992, di Kabupaten Tapanuli Utara (Kabupaten Humbahas merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 2003) ada gerakan Berjuta Pohon yang merupakan gerakan untuk mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong miliknya dengan tanaman-tanaman produktif (Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara, 1992).  Pinus dipilih sebagai pohon untuk rehabilitasi lahan kritis karena memenuhi tiga persyaratan yakni: benihnya cukup tersedia, dapat hidup di berbagai kondisi lahan kritis, dan teknik penanamannya secara massal telah dikuasai (Mangudikoro, 1983 dalam Astana, 1999).
Sumberdaya hutan berperan sebagai penggerak ekonomi dapat teridentifikasi daalam beberapa hal, yaitu: pertama, penyediaan devisa untuk membangun sektor lain yang membutuhkan teknologi dari luar negeri; kedua, penyediaan hutan dan lahan sebagai modal awal untuk pembangunan berbagai sektor, terutama untuk kegiatan perkebunan, industri dan sektor ekonomi lainnya; dan yang ketiga, peran kehutanan dalam pelayanan jasa lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga bentuk peranan tersebut berkaitan dengan peranan sumberdaya hutan sebagai penggerak ekonomi yang sangat potensial, sangat kompleks dan saling terkait (Alam, dkk).
Permasalahan
Kayu dari hutan rakyat pada awalnya dimanfaatkan terbatas untuk bahan bangunan sederhana dan kayu bakar, kemudian kayu jenis pinus dijual sebagai bahan baku industry korek api dan chopstick di Pematangsiantar dan Medan dengan jumlah terbatas. Manfaat hutan rakyat yang didominasi jenis pinus  semakin nyata dirasakan setelah berdirinya industri pengolahan kayu hulu yakni PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) yang sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Porsea sejak 1987. Kayu-kayu pinus dari lahan masyarakat kemudian dipasarkan ke PT IIU dengan jumlah yang cukup banyak dan cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Kondisi ini memberikan kesempatan kerja dan berusaha bagi anggota masyarakat sekitarnya baik melalui kegiatan penebangan maupun pengangkutan kayunya. Namun berbagai gerakan yang pernah dicanangkan oleh pemerintah tersebut dan adanya pasar yang jelas untuk pinus, tidak menjadikan petani mau terus mengembangkan hutan rakyat pinus. Bagi pemilik lahan, pinus yang sudah masak tebang merupakan tabungan, namun ketika pinus dipanen dengan sistem tebang habis, ada kecenderungan dari petani untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti kopi, coklat, dan sebagainya dibandingkan jenis kayu-kayuan yang memerlukan waktu lama. Bahkan ketika saat ini mengusahakan kayu dengan jenis ekaliptus sudah dapat dilakukan dengan pola PIR kerjasama dengan PT TPL sehingga petani hanya menyediakan lahan dan tenaga sedangkan bibit, biaya pemeliharaan, dan biaya pemanenen menjadi tanggung jawab PT TPL dengan sistem bagi hasil, tapi motivasi petani masih juga tidak begitu tinggi.
Memang seperti pengelolaan hutan rakyat pada umumnya, petani hutan rakyat khususnya pinus di Kabupaten Humbahas juga memiliki sejumlah permasalahan baik biofisik, kelembagaan petani maupun perilaku dari petaninya itu sendiri yang menyebabkan hutan rakyat pinus dari waktu ke waktu semakin tergeser oleh pengusahaan tanaman pertanian. Padahal pinus sangat cocok dikembangkan di daerah ini, bahkan didukung oleh adanya organisasi pengusaha kayu bernama Asosiasi Pengusaha Pinus Rakyat Bona Pasogit (APPR-BP) yang merupakan asosiasi pengusaha pinus rakyat di Tapanuli Utara dan Humbahas yang terbentuk pada bulan Juli 2003 dengan pusat di Tarutung (Ibukota Tapanuli Utara).
Dari latar belakang yang diuraikan di atas sebenarnya pengembangan hutan rakyat pinus di Humbahas memiliki kekuatan dan peluang yang bagus namun menghadapi berbagai kendala. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi perkembangan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas serta merumuskan strategi yang tepat bagi upaya pengembangan hutan rakyat pinus berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut.
Tujuan Pengembangan Komoditi
Dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat pinus diperlukan upaya-upaya atau strategi pengembangan. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan. Tujuan dari pengembangan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pengelola hutan rakyat pinus



  
BAB II
POTENSI
Propinsi Sumatera Utara merupakan wilayah daratan dengan topografi beragam, yaitu dataran rendah, bergelombang, berbukit, pegunungan, serta wilayah kepulauan, yang berada pada ketinggian antara 0.2.150 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini memi­liki perairan umum yang berupa danau dan sungai. Iklim daerah Sumatera Utara termasuk tropis basah, dengan curah hujan yang beragam antara 1.430-5.050 milimeter setiap tahun. Suhu udara beragam antara 12,2° Celsius - 33° Celsius. Wilayah Sumatera Utara mempunyai beberapa kawasan yang rawan terhadap bencana, yaitu letusan gunung api, gerakan tanah, dan erosi (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-sumatera-utara/sumber-daya-alam.html).
a. Kesesuaian tempat tumbuh
Pinus mempunyai habitat alam di tiga lokasi yaitu Aceh, Kerinci dan Tapanuli sehingga tanaman tersebut mempunyai strain dengan nama sesuai daerah penyebarannya. Menurut Heyne (1987), jenis ini mempunyai syarat pertumbuhan sebagai berikut: ketinggian 900 - 1800 m dpl, curah hujan lebih dari atau sama dengan 2.000 mm/tahun, kelerengan antara 0 - 40%, tekstur tanah ringan-sedang, dan sebagainya. Kabupaten Humbahas mempunyai kondisi iklim dan topografi yang sesuai dengan syarat pertumbuhan pinus tersebut sehingga jenis ini banyak dijumpai di daerah ini baik karena sengaja ditanam.
b. Kebiasaan masyarakat secara turun temurun
Keberadaan hutan rakyat pinus di Humbahas sebagian besar ditanam melalui gerakan KOGEM (1950-an), Inpres Penghijauan (1969) dan Berjuta Pohon (1992). Masyarakat di kabupaten ini kehidupannya sangat tergantung dengan alam (pertanian/kehutanan) sehingga masyarakat mengelola/memelihara pinus secara turun temurun. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan dengan petani diketahui bahwa hutan rakyat pinus yang akan dan sedang ditebang pada saat ini sebagian besar merupakan peninggalan dari orang tuanya (warisan).

c. Jaminan tabungan bagi ekonomi rumah tangga
Hutan rakyat pinus yang ditanam sekitar 10-20 tahun yang lalu oleh generasi sebelumnya ataupun ditanam petani sendiri merupakan tabungan bagi generasi sekarang dan begitu seterusnya. Sehingga pengelolaan pinus dapat dijadikan sebagai tabungan bagi ekonomi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dimasa yang akan datang. Keputusan petani untuk menjual pohon hutan rakyatnya sebagian besar didasarkan karena adanya kebutuhan uang tunai yang pada saat itu dihadapi.
d. Teknik budidaya hutan rakyat kurang intensif dibanding usaha tani lainnya
Pengelolaan pinus tidak memerlukan penanganan yang intensif dan tidak menyita banyak waktu sehingga petani masih bisa mengerjakan pekerjaan lain. Aktivitas mencari pendapatan di luar sektor pertanian tersebut malah menyebabkan petani kurang perhatian untuk mengurus hutan rakyatnya.
e. Hasil kayu rakyat dapat digunakan sendiri
Hutan rakyat sebagai salah satu aktivitas dalam bertani mampu menciptakan peluang bagi pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan akan kayu sendiri seperti untukmencukupi kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, papan, dan sebagainya. Namun sebagian besar petani lebih memilih untuk menjual kayu dan hanya menggunakan kayu untuk digunakan sendiri kalau terpaksa.
f. Input modal relatif rendah
Sistem pertanian yang intensif masih banyak dipandang petani sebagai sistem yang memerlukan banyak biaya dan tenaga sehingga petani cenderung mengarahkan kegiatan pertanian dengan menanam jenis yang tidak memerlukan perawatan yang rumit, tidak memerlukan biaya dan tenaga yang cukup besar. Salah satu alasan pengelolaan hutan rakyat tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar adalah karena proses produksi terkait dalam seluruh tahapan pengembangannya bisa menghasilkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan pengelolaan pada hutan rakyat sendiri kurang intensif dibandingkan dengan usaha tani lainnnya.

BAB III
KELEMAHAN
Faktor-faktor kelemahan yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat Pinus:
a. Akses terhadap pasar lemah
Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat kemudian melakukan inventarisasi bersama-sama dengan petugas dinas kehutanan untuk menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap lebih praktis. Posisi tawar petani dalam hal ini cenderung lemah karena pengusaha mempunyai kewenangan yang cukup besar sebagai penentu harga karena adanya faktor-faktor tersebut dan pengusaha cenderung menentukan harga sepihak. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya kesempatan petani untuk memasarkan sendiri karena pengusaha pinus rakyat terbatas (harus memegang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik).
Harga ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi dan sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan 3 pengusaha diketahui harga maksimal kayu pinus adalah Rp 200.000/m . Menurut Astana (1999) untuk mengangkat harga dasar di tingkat petani, tidak perlu diberlakukan kebijakan harga dasar. Upaya tersebut lebih efektif dilakukan melalui reformasi kebijakan yang mengarah kepada penghapusan kekuatan monopsoni-oligopsoni (deregulasi larangan dan ijin dispensasi penjualan pinus ke luar Sumatera Utara) dan peningkatan efisiensi tata niaga (penghapusan atau penurunan iuran pemanfaatan dan biaya lisensi, perpanjangan jangka waktu IPKTM, dan penyederhanaan prosedur perizinan).
b. Keterbatasan informasi dan aksesnya
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa informasi harga kayu diperoleh petani hanya dari pengusaha, sedangkan informasi pasar seperti jumlah permintaaan, waktu permintaan, kualitas/sortimen kayu maupun pihak yang akan membeli hampir seluruhnya tidak diketahui. Kondisi ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas karena dapat menyebabkan petani dalam posisi yang sangat lemah dan usaha hutan rakyat pinus tidak menarik karena pemasarannya tidak mudah.
c. Penyuluhan hutan rakyat lemah
Informasi mengenai harga/pasar dan hal lain tentang pengelolaan pinus sebenarnya bisa diperoleh petani dari penyuluh, namun diketahui bahwa intensitas kunjungan petugas penyuluh sangat minim dengan materi yang sangat terbatas. Berdasarkan Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbahas diketahui bahwa penyuluh jarang melakukan tugas dan fungsinya (hanya 1-3 kali dalam setahun) karena jumlah penyuluh sangat terbatas dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Kurang efektifnya kegiatan penyuluhan dan pembinaan, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah, dan sebagainya akan menjadi hambatan dalam pengembangan hutan rakyat apabila tidak diatasi dengan baik.
d. Kelembagaan lemah
Permasalahan yang sering ditemui dalam komunitas petani khususnya hutan rakyat adalah kelembagaan yang lemah baik organisasinya ataupun aturan-aturan yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat. Marbyanto (1996) mengatakan bahwa selain factor modal, teknologi, dan sumberdaya manusia, masih ada faktor lain yang berpengaruh besar terhadap pengembangan usaha hutan rakyat yakni keterbatasan kemampuan dan kemauan berorganisasi.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa tidak ada kelompok tani pinus rakyat di kabupaten tersebut. Padahal apabila terdapat kelompok tani maka petani bisa menggunakannya sebagai wadah tukar menukar informasi terutama masalah harga/pasar. Kalaupun ada sudah tidak aktif lagi karena kelompok tani yang ada sekarang terbentuk karena adanya bantuan (proyek) seperti Gerhan dan pengalaman membuktikan bahwa kelompok tani seperti itu tidak akan bertahan lama seiring dengan habisnya kegiatan bantuan (proyek). Di lapangan justru ditemukan adanya lembaga/organisasi pengusaha pinus rakyat yakni APPR-BP (Asosiasi Pengusaha Pinus Rakyat-Bona Pasogit) yang berdiri pada tahun 2003.
e. Keterampilan masyarakat dalam mengolah hasil hutan rakyat rendah
Petani lebih menyukai menjual kayunya dengan sistem tebang habis kepada pengusaha yang kemudian dijual oleh pengusaha kepada industri-industri kayu baik di Pematangsiantar, Tebing Tinggi, Medan, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena dianggap sebagai cara yang paling mudah, praktis dan cepat oleh petani. Padahal secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut seperti kayu gergajian, dan sebagainya karena produksi kayu dari hutan rakyat pinus cukup besar. Meskipun hal ini perlu ditunjang oleh beberapa hal seperti kelembagaan petani, modal, dan keterampilan yang memadai yang pada dasarnya hal tersebut masih bisa diusahakan jika ada kemauan dari semua pihak.
f. Keterbatasan modal dan aksesnya
Selain faktor di atas, keterbatasan modal dan aksesnya merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat. Sebenarnya pemerintah melalui SK Menteri Kehutanan No 49/Kpts-II/1997 telah mengeluarkan kebijaksanaan berupa kredit usaha hutan rakyat untuk lebih mendorong usaha hutan rakyat dan memberikan akses yang besar terhadap permodalan. Besarnya kredit usaha hutan rakyat adalah Rp 2.000.000 per hektar dengan tingkat bunga sebesar 6% per tahun yang dimulai sejak tahun 1996/1997.
Kesulitan modal untuk mengembangkan hutan rakyat selain pinus (ekaliptus) di Kabupaten Humbahas ini sebenarnya dapat diatasi dengan sistem kerjasama PIR dengan PT TPL, di mana petani hanya menyediakan lahan dan tenaga sedangkan bibit, biaya pemeliharaan, dan biaya pemanenen menjadi tanggung jawab PT TPL dengan sistem bagi hasil. Namun belum semua petani tertarik dengan pembiayaan seperti ini karena hasilnya nanti tidak sepenuhnya menjadi milik petani.





BAB IV
ANALISIS DAN SARAN
Analisis
Strategi yang dapat dilakukan untuk kelemahan di atas adalah:
1) memperluas jaringan pemasaran dan
2) perluasan hutan rakyat melalui pemanfaatan lahan kritis dan terlantar.
Upaya memperluas jaringan pemasaran dapat dilakukan terhadap pasar output (seperti pasar kayu bulat dan olahan hasil hutan rakyat). Selama ini petani hutan rakyat memasarkan hasil hutannya kepada pengusaha pinus rakyat yang jumlahnya terbatas dengan posisi tawar yang dimiliki petani rendah dalam penentuan harga. Jaringan pemasaran dapat diperluas dengan bantuan fasilitasi dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan instansi terkait lainnya untuk meningkatkan posisi tawar petani. Upaya perluasan hutan rakyat dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan kritis dan terlantar yang ada agar dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan ekologi dari penggunaan lahan tersebut untuk pengembangan hutan rakyat. Salah satu keunggulan hutan rakyat adalah bisa dikembangkan di lahan kritis dan terlantar.
Strategi lain yang dapat dilakukan adalah:
1) melakukan pembinaan teknik pengelolaan hutan rakyat dan
2) meningkatkan kualitas SDM. Pembinaan teknik pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan sustainabilitas hasil hutan rakyat serta mencegah dampak-dampak negatif pengelolaan hutan rakyat pada lingkungan. Pembinaan teknik pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan melalui penyebarluasan informasi (penyuluhan, penyebaran leaflet, dan buku buku panduan), pelatihan, dan lain-lain. Strategi peningkatan SDM menjadi dasar dari semua strategi yang ada karena faktor SDM adalah salah satu modal dasar pengembangan hutan rakyat. Peningkatan kualitas SDM petani dapat dilakukan selain dengan cara di atas juga dengan pelatihan, studi banding, dan sebagainya.
3) pengembangan sistem insentif melalui peningkatan fasilitasi dari berbagai elemen sesuai peran dan fungsinya untuk lebih memberdayakan masyarakat,
4) pengembangan kelembagaan pasar yang menciptakan iklim kondusif untuk usaha. Sebenarnya masyarakat memiliki banyak potensi, baik dilihat dari sumberdaya alam yang ada maupun dari sumberdaya social budaya. Cara menggali dan mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada di masyarakat inilah yang menjadi inti dari pemberdayaan masyarakat.
Strategi yang pertama bertujuan agar masyarakat mampu mengenal kebutuhan, permasalahan dandapat merumuskan rencana serta melaksanakan rencananya secara mandiri dan swadaya. Sedangkan strategi pengembangan kelembagaan pasar bertujuan untuk menciptakan iklim kondusif untuk usaha hutan rakyat. Pengembangan kelembagaan pasar dapat dilakukan dengan membentuk lembaga perkreditan, lembaga kerjasama usaha dengan pihak lain, dan sebagainya.

Saran
Upaya-upaya pemerintah dalam mengembangkan hutan rakyat pinus di Kabupaten Humbahas perlu diarahkan pula pada peningkatan kesadaran/motivasi
masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat baik untuk kepentingan ekonomi
maupun ekologi dan perlu ada kebijakan/aturan khususnya dalam pemasaran kayu pinus yang berpihak kepada petani sehingga posisi tawar petani tinggi.




DAFTAR PUSTAKA
Alam, dkk. 2009. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Universitas Hasanuddin. Tamanlanrea
Astana, S. 1999. Pengembangan Pengusahaan Pinus Hutan Rakyat di Sumatera Utara: Masalah, Tantangan, dan Peluang Keberhasilan. Makalah Utama dalam Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar di Medan, 30 Maret 1999. Pematang Siantar.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Humbang Hasundutan. 2009. Humbang Hasundutan dalam Angka 2008. Dolok sanggul: BPS Kab. Humbang Hasundutan.
Departemen Kehutanan. 2007. Instrumen Kehutanan Global. Dephut. Jakarta
Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara. 1992. Rencana Pembinaan Sumberdaya Hutan Rakyat di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1993/1994. Tarutung.
Iwan.  2001. Profil Industri Pengolahan Kayu di Propinsi Sumatera Utara. Diakses dari http:// Sumberdaya Hutan.pdf (22/6/2013) (11.00 WIB).
Marbyanto, E. 1996. Pengembangan Kelembagaan Hutan Rakyat (Suatu Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Hutan Rakyat Melalui Pendekatan Kelompok). Makalah dipresentasikan dalam acara ”Diskusi Panel Pemanfaatan Kayu Rakyat) yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan, Jakarta, 16-17 Januari 1996.
Nurrochmat DR. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat: Kemenyan di Tapanuli Utara. Di dalam: Darusman D, Editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Debut Press.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About