Rabu, 26 Juni 2013

AGRIBISNIS TANAMAN PADI

Posted by Unknown On 17.55 | No comments
Oleh   : Johanna Siagian
NIM  : 111201042


GAMBARAN UMUM BISNIS

Beras merupakan komoditas strategis berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisiasi pertanian ke depan. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan beras dalam periode 2005-2025 diproyeksikan masih akan terus meningkat. Kalau pada tahun 2005 kebutuhan beras setara 52,8 juta ton gabah kering giling (GKG), maka pada tahun 2025 kebutuhan tersebut diproyeksikan sebesar 65,9 juta ton GKG.
Pemerintah berkeinginan mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Peningkatan produktivitas padi 1,5% per tahun dengan indeks panen 1,52 diperkirakan dapat mempertahankan swasembada beras hingga tahun 2025. Untuk mencapai sasaran tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah dan akan menghasilkan varietas unggul padi hibrida dan padi tipe baru. Varietas-varietas unggul yang berdaya hasil tinggi ini diharapkan dapat diaktualisasikan potensi genetiknya melalui pengembangan teknologi budi daya dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Strategi yang dapat ditempuh dalam meningkatkan produksi padi nasional adalah: (1) mendorong sinergi antarsubsistem agri-bisnis; (2) meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya, modal, teknologi, dan pasar; (3) mendorong peningkatan produktivitas melalui inovasi baru; (4) memberikan insentif berusaha; (5) men-dorong diversifikasi produksi; (6) mendorong partisipasi aktif seluruh stakeholder; (7) pemberdayaan petani dan masyarakat; (8) pengem-bangan kelembagaan (kelembagaan produksi dan penanganan pascapanen, irigasi, koperasi, lumbung pangan desa, keuangan dan penyuluhan).
Kebijakan pengembangan padi diarahkan pada: (1) pembangun-an dan pengembangan kawasan agribisnis padi yang modern, tangguh, dan pemberian jaminan kehidupan yang lebih baik bagi petani; (2) peningkatan efisiensi usahatani melalui inovasi unggul dan berdaya saing; (3) pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, efisien dan produktif serta berkelanjutan yang dapat mendukung ketahanan ekonomi dan pelestarian lingkungan; (4) pemberdayaan petani dan masyarakat pedesaan; dan (5) pengembangan kelembagaan dan kemitraan yang modern, tangguh, efisien, dan produktif.
Program yang dicanangkan meliputi (1) pengembangan sarana dan prasarana, (2) pengembangan sistem perbenihan, (3) akselerasi peningkatan produktivitas (intensifikasi), (4) perluasan areal tanam (ekstensifikasi), (5) pengembangan sistem perlindungan, (6) peng-olahan dan pemasaran hasil, (7) pengembangan kelembagaan, dan (8) pemantapan manajemen pembangunan pertanian.
Upaya peningkatan produksi padi guna mempertahankan swa-sembada sampai tahun 2025 membutuhkan iUpaya peningkatan produksi padi guna mempertahankan swa-sembada sampai tahun 2025 membutuhkan investasi sebesar Rp.85,4 trilyun untuk pengembangan dan perluasan adopsi teknologi (varietas dan pendekatan budidaya). Dukungan kebijakan pemerintah terhadap pelaku agribisnis padi, baik masyarakat (petani) maupun swasta, akan mempercepat upaya peningkatan investasi.
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras.

Perkembangan Luas Areal
Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti.
Departemen Pertanian (Deptan) menyediakan lebih dari 220 ribu ton benih padi untuk musim tanam (MT) 2008/2009 atau periode Oktober 2008-Maret 2009. Dari benih padi sebanyak 220.373,52 ton itu, terdiri benih bersertifikat 121.667,06 ton dan benih non-sertifikat yang disediakan sendiri oleh petani sebanyak 98.706,46 ribu ton.“Benih bersertifikat disediakan melalui bantuan pemerintah dan pasar bebas baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi,” ujar Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso di Jakarta kemarin.
Dijelaskan, dengan sasaran tanam padi seluas 7,79 hektar, maka pada periode Oktober 2008-Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 194.823,23 ton. Dengan demikian, penyediaan benih padi pada periode tersebut terdapat surplus  25.594,77 ton atau 13,11% dari kebutuhan.
Dikatakan, selama Masa Tanam 2008/2009 sasaran luas tanam terbesar pada Desember 2008 yakni 2,20 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 55.080,88 ton. Sedangkan jumlah penyediaan benih mencapai 61.139,77 ton. Kemudian Januari 2009 mencapai 1,55 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 38.795,68 ton dan penyediaan 43.839,11 ton. November 2008 diperkirakan kebutuhan benih potensial mencapai 33.650,60 ton untuk sasaran tanam 1,34 juta hektar dengan jumlah penyediaan sekitar 37.688,67 ton.
Sementara Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 35.886,98 ton untuk sasaran tanam 1,03 juta hektar dengan jumlah penyediaan 31.064,37 ton. Sisanya yakni untuk Oktober 2008 dan Februari 2009 dengan sasaran tanam masing-masing di bawah 1 juta hektar. “Varietas-varietas yang tersedia yakni Ciherang, IR 64, Cigeulis, Ciliwung, Cobogo dan lain- lain.           (http://www.kr.co.id, 2009)

Perkembangan Produksi
Revolusi Hijau dan revolusi bibit-bibitan mulai di­perkenalkan sekitar tahun 1960-an di berbagai negara berkembang. Tahun 1962 misalnya, di Indonesia diperkenalkan jenis padi baru produk dari Lemba­ga Penelitian Padi Internasional (IRRI: International Rice Re­search Institute) di Philipina. Padi jenis baru yang dikenal dengan nama PB 8 ini adalah hasil persilangan generasi ke-8 dari 38 persilangan antara jenis padi sedang dan jenis padi unggul PETA asal Indonesia.
Keunggulan jenis baru ini dapat hidup di berbagai ketinggian karena tidak sensitif terhadap fotosintesis, juga tidak mengenal musim. Batang dan pelepahnya kuat, tumbuhnya kokoh pada nitrogen tinggi, maka kuat menopang untaian bulir-bulir. Satu hektar sawah dapat menghasilkan 10 ton gabah, bandingkan dengan pertanian tradisional yang "cuma" menghasilkan 5 @ 6 ton gabah per hektar.
Kemudian diperkenalkan jenis-jenis padi unggul lainnya. Penyebaran bibit-bibit unggul begitu pesatnya, di tahun 1974 sekitar 54% sawah basah di seluruh Indonesia sudah di-"Revolusi Hijau"-kan. Sepuluh tahun kemudian menjadi 67% dan pada tahun 1975 varietas unggul telah memenuhi lebih dari 74% lahan sawah basah di Indonesia. Penanaman padi tradisional tersingkir ke pinggir. Bahwasanya padi tradisional masih bisa eksis, itu hanya berkat kemampuan varietas tradisional ini untuk tumbuh di tanah-tanah yang tinggi (pegunungan), di areal rawa-rawa berair dalam dan lahan-lahan yang kurang sesuai untuk padi teknologi baru.
Teknologi Revolusi Hijau paling cocok pada sawah dataran rendah, karenanya di areal ini varietas tradisonal tidak punya hidup lagi. Persilangan-persilangan jenis padi tidak hanya terjadi di Phlipina, juga di Indonesia sendiri terjadi penyilangan padi. Padi-padi silang yang dihasilkan di Indonesia diberi nama-nama sungai atau nama-nama gunung seperti Cisedane, Cimandiri,  Citarum, Semeru, Sadang, Krueng  Aceh.
Tiga jenis padi silang yang membawa Indonesia ke tingkat swasembada beras adalah padi IR 36, Cisedane dan Krueng Aceh. Panen 3 jenis padi ini berhasil meningkatkan produksi lebih dari 49% di tahun 1979 sampai 1985. Malangnya kemudian terjadi lagi wabah wereng coklat yang menyerang sekitar 100.000 hektar sawah yang ditanami jenis-jenis padi unggul tersebut. Di belakang hari masih ditemukan bibit unggul baru yang dikenal dengan padi IR 64. Namun bersamaan dengan munculnya padi jenis-jenis baru, muncul pula jenis hama-hama baru. Maka manusiapun menciptakan jenis pestisida baru untuk membunuh hama-hama baru tersebut. Itulah mata rantai yang terjadi akibat Revolusi Hijau.
Penanaman bibit-bibit unggul jenis baru, jelas menuntut perubahan praktek bertani. Sistem pertanian tradision­al tidak cocok lagi untuk menanam bibit-bibit unggul. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun saja, sistem pertanian tradisional telah digantikan oleh model baru yang meningkatkan kerawanan-kerawanan. Tetapi dapat menyebabkan rusaknya keseimbangan ekosistem, rusaknya tanah, pencemaran makanan, juga munculnya hama-hama tanaman jenis baru. Akibat hama wereng kerugian mencapai 500 juta US $ atau setara dengan panen seki­tar 3 juta ton. Situasi itu memunculkan penemuan IRRI jenis baru IR 36 dan IR 38 yang tahan hama wereng coklat, sehingga di tahun 1977 hasil panen nasional dapat dikembalikan ke tingkat semula (Sugeng, 2001).

Penyebaran Produksi di Indonesia
Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti.
Produksi padi nasional sampai Desember 1997 adalah 46.591.874 ton yang meliputi areal panen 9.881.764 ha. Karena pemeliharaan yang kurang intensif, hasil padi gogo hanya 1-3 ton/ha, sedangkan dengan kultur teknis yang baik hasil padi sawah mencapai 6 – 7 ton/ha.
Tabel Penyebaran Produksi Padi di Indonesia
No.
Daerah
Luas Panen Padi Sawah
(x 1.000 ha)
Luas Panen Padi Ladang (x 1.000 ha)
1.
Jawa
3.786
403
2.
Sumatera
1.168
708
3.
Kalimantan
448
270
4.
Bali – Nusatenggara
335
132
5.
Maluku – Irian Jaya
-
5

(Sumber : BPP Teknologi dan MiG-6 Plus / Teguh Rahayu).
Agribisnis hulu mencakup semua kegiatan bisnis/usaha untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian. Kegiatan-kegiatan ini meliputi antara lain: membuat dan menjual keperluan pertanian (pupuk organik, pestisida organik, pakan ternak, dan lain-lain), pengadaan dan menjual bibit unggul, dan lain-lain.
Sedangkan agribisnis hilir sering disebut agroindustri adalah kegiatan industri atau pengolahan bahan makanan atau makanan yang menggunakan bahan baku hasil-hasil pertanian. Di samping itu juga kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan hasil-hasil pertanian.
Pengolahan hasil pertanian adalah melakukan proses pembuatan bahan makanan atau makanan dengan bahan baku hasil tanaman atau ternak. Bahan makanan dapat dimakan harus diolah lagi, tetapi makanan dapat langsung dimakan. Contoh hasil pertanian diolah menjadi bahan makanan adalah: singkong menjadi tepung (tapioka, kasava, lainnya), kelapa menjadi minyak, buah marquisa menjadi sirup, ketan/beras menjadi tepung, daging menjadi dendeng, dan lain-lain. Sedangkan contoh hasil pertanian diolah menjadi makanan adalah singkong diolah menjadi kripik/tape/lemet/singkong goreng/lainnya, ketan menjadi uli/tape/lemper/lainnya, sagu menjadi bagea, daging menjadi abon, dan lain-lain.
Dalam proses produksi (baik biologis atau teknis) senantiasa disertai oleh produksi limbah dan hasil samping karena terjadi transformasi input menjadi output (bahan baku ke produk). Proses transformasi dalam semua sistem tidak terjadi secara sempurna tetapi dengan tingkat efisiensi tertentu. Dalam produksi pertanian, efisiensi berkisar pada rentang 5-40 persen. Hal ini terjadi pada indutri pengolahan padi, selain menghasilkan beras juga limbah (sekam dan dedak) dan hasil samping (menir).
Industri pengolahan padi (sederhana, kecil, menengah dan besar) menghadapi permasalahan penanganan limbah. Hampir semua penggilingan padi menumpuk sekam di  sekitar bangunan. Semakin hari jumlahnya bertambah. Pembuangan sulit dilakukan karena keterbatasan tempat dan biaya yang besar. Penggunaan untuk bahan bakar (bata, pengering) masih sangat terbatas. Akibatnya, muncul berbagai persoalan lingkungan seperti estetika, bau dan sumber penyakit.
MASALAH-MASALAH UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI


Agribisnis merupakan paradigma baru bagi sektor pertanian. Sistem agribisnis tidak hanya berhubungan dengan kegiatan usahatanai (sub-sistem on-farm) saja, namun juga terkait dengan sub-sistem off-farm (baik hulu maupun hilir) serta sub-sistem penunjang.
Pengembangan sistem agribisnis secara parsial merupakan hal yang dapat menimbulkan permasalahan baru lainnya. Secara ketersediaan sumberdaya, Indonesia memiliki potensi agribisnis yang sangat besar, baik di daratan maupun lautan. Sayangnya potensi yang besar ini belum dapat termanfaatkan dengan baik dikarenakan beberapa masalah besar yang dihadapi, yaitu:
1.    Penguasaan asset produksi dan skala usaha petani yang sangat kecil serta
  kemampuan permodalan usaha yang rendah
2.    Ketersediaan infrastruktur yang minim, terutama di luar Jawa, baik terkait dalam pengadaan input produksi, proses produksi, maupun paska produksi (pengolahan dan pemasaran).
3.    Produktivitas dan kualitas produk yang masih rendah dikarenakan pengusahaan yang tradisional dan belum menggunakan teknologi secara tepat
4.    Posisi rebut tawar (bargaining position) petani yang lemah dalam memperoleh nilai jual yang menggairahkan usahanya.
5. Belum adanya kebijakan terpadu dari pemerintah yang mendukung berkembangnya agribisnis di Indonesia.
Khususnya terkait dengan sub-sistem pendukung, pengembangan sistem agribisnis tidak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang terkait. Sayangnya penentuan kebijakan dan berbagai bentuk pendukung pengembagan sistem agribisnis ini tersekatsekat ke dalam berbagai instansi. Dalam kondisi seperti ini pemerintah bukannya menjadi solusi tapi justru menjadi sumber permasalahan.




PROSPEK/ PELUANG-PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS


Asumsi yang digunakan untuk menghitung proyeksi permintaan beras disajikan pada Tabel 2. Dengan perhitungan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 lebih dari 296 juta, 58% di antaranya terkonsentrasi di Jawa dan 21,3% di Sumatera. Sebenarnya, dengan elastisitas pendapatan dan harga yang kurang dari satu, konsumsi beras per kapita turun dari 114,1 kg pada tahun 2003 menjadi 111,1 kg pada tahun 2010, dan 105,0 kg pada tahun 20252).
Namun, karena laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari laju penurunan konsumsi maka jumlah permintaan pangan tetap meningkat. Kalau permintaan industri diperhitungkan sebesar 23,5% dari permintaan rumah tangga dan permintaan lainnya (stok) sebesar 10%3), maka kebutuhan beras pada tahun 2010 lebih dari 35 juta ton dan pada tahun 2025 lebih dari 41 juta ton, atau meningkat masing-masing 8% dan 27% dari permintaan pada tahun 2003     (Tabel 3).
Tabel 2. Asumsi yang digunakan untuk proyeksi permintaan beras.
Parameter
Kota
Desa
1. Pertumbuhan penduduk (%/thn)
1,49
1,49
2. Elastisitas :
    a. Pendapatan
    b. Harga

0,465
-0,564

0,722
-0,564
3. Pertumbuhan
    a. Pendapatan
    b. Harga

5,0
5,0

3,5
5,0
4. Permintaan antara (% dari kons. RT)
23,5
23,5
5. Permintaan lainnya (a.l. stok)
10
10
6. Konversi GKG – beras (%)
63
63


Keterangan:
1. BPS (2001), dianggap sama dengan pertumbuhan periode 1990-2000
2. Harianto (2001)
3. Suryana dan Hermanto (2004)
Tabel 3. Permintaan beras dalam periode 2005 - 2025, menurut wilayah (000 ton).
Wilayah
2003
2005
2010
2015
2020
2025
Sumatera
7.433
7.601
8.037
8.499
8.987
9.504
Jawa
18.611
19.019
20.081
21.202
22.386
23.637
Bali & Nusteng
1.961
2.005
2.120
2.242
2.371
2.507
Kalimantan
1.798
1.838
1.944
2.055
2.173
2.298
Sulawesi
2.362
2.416
2.556
2.704
2.862
3.028
Maluku & Papua
399
408
432
457
484
512
Indonesia
32.563 (52.138)
33.287 (52.837)
35.170 (55.825)
37.160 (58.984)
39.263 (62.323)
41.487 (65.852)

Dengan skenario swasembada absolut (kecukupan 100%) yang digunakan, maka untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan peningkatan produksi padi berturut-turut sebesar 0,6 juta ton (1,3%); 3,7 juta ton (7,1%); 6,8 juta ton (13,1%); 10,2 juta ton (26,3%); dan 13,7 juta ton GKG (26,3%) dari produksi tahun 2003.
Kalau skenario swasembada ontrend (kecukupan 95%) yang digunakan , yaitu mentoleransi impor beras sebesar 5% maka untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan peningkatan produksi berturut-turut sebesar 0,9 juta ton (1,7%); 3,8 juta ton (7,5%); 7,1 juta ton (13,6%); dan 10,4 juta ton GKG (20%).
Sulawesi dan Kalimantan mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri hingga tahun 2025, bahkan diperkirakan berpeluang mencapai swasembada absolut. Sebaliknya, Jawa akan menjadi beban bagi daerah lain untuk memenuhi kebutuhan beras. Bilamana impor beras sebanyak 5% dimungkinkan, maka Jawa masih harus mendatangkan2,1 juta ton GKG pada tahun 2010; 3,8 juta ton pada tahun 2015; 5,6 juta ton pada tahun 2020; dan 7,5 juta ton pada tahun 2025.
Ke depan, permintaan beras tidak hanya menyangkut aspek kuantitas, tetapi juga kualitas, nilai gizi, aspek sosial budaya di masingmasing daerah, dan perkembangan teknologi agroindustri (http://agri-research.or.id, 2009).
GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto dalam Bahasa Indonesia, adalah satu dari beberapa indikator yang mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi.
Gross atau kotor dapat diartikan sebagai nilai depresiasi dari barang modal (Capital Stock) yang tidak dimasukan dalam perhitungan. Konsumsi dan Investasi dalam persamaan diatas adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa akhir (siap pakai). Ekspor dikurangi impor (juga dikenal sebagai ekspor bersih)  melalui persamaan ini dapat diartikan sebagaiselisih dari nilai barang yang diproduksi didalam negeri tetapi tidak dikonsumsi di dalam negeri dikurangi dengan nilai barang yang ada yang dikonsumsi buatan luar negeri (import) (www.wikipedia.org, 2009).



SARAN

Dalam kondisi tidak efektifnya sub-sistem pendukung agribisnis yang dimotori oleh pemerintah, maka mau tidak mau para petani harus mampu memperjuangkan berbagai kepentingan mereka sendiri. Pengalaman di berbagai negara maju menujukkan bahwa koperasi pertanian merupakan wadah yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan petani ini.
Melalui koperasi diharapkan petani mampu mewujudkan kekuatan penyeimbang (coutervailing power) terhadap berbagai iklim usaha yang selama ini merugikan mereka, melakukan pengembangan pasar input dan output yang lebih menguntungkan, memperbaiki efisiensi produksi dan pemasaran, lebih baik dalam mengendalikan resiko, serta menjamin kelangsungan usaha dan meningkatkan pendapatan petani.


DAFTAR PUSTAKA

Andoko, A., 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta.
http://agri-research.or.id., 2009. Komoditas Pasca Panen. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013.

http://arsip.pontianakpost.com., 2009. Subsistem Agribisnis. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013.

http://www.kr.co.id., 2009. Agribisnis Padi. Diakses Tanggal 24 Juni 2013.

http://www.merauke.asia. Faktor Agribisnis. Diakses Tanggal 24 Juni 2013.

http://www.pemasaran padi.com., 2009. Padi. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013.

karyamitrausaha@yahoo.com. Diakses tanggal 24 Juni 2013.

Sugeng, H. R., 2001. Bercocok Tanam Padi. CV Aneka Ilmu, Semarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About