Selasa, 25 Juni 2013

PERMASALAHAN DI SEKTOR GAHARU

Posted by Unknown On 08.05 | 1 comment
Oleh   : Eko Prayogo
Nim    : 111201060


BAB I
 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gaharu merupakan gumpalan berbentuk padat berwarna kehitaman dan mengandung resin yang khas, terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses kimia dan fisik akibat terinfeksi oleh mikroba, serta merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan devisa Negara. Saat ini tidak kurang 17 (tujuh belas) jenis tumbuhan yang menghasilkan gaharu, yaitu Aetoxylon sympetalum, Aquilaria hirta, A. malaccensis, A. filarial, A. cumingiani, A. beccariana, Dalbergia parvifolia, Enkleia malaccensis, Excoecaria agallocha, Gonystilus bancanus, G. macrophyllus, Wikstroema androsaemifolia, W. polyantha, W. temuramis, Grynops verstegi dan G. cumingiani.
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aguilaria sp (Thymelaeaceae).Gaharu merupakan komoditi elit, langka dan bernilai ekonomi tinggi. Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia. Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.
Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi. Pengelompokan gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan Sabah (tenggelam).
Gaharu tersebut memiliki harga yang cukup tinggi untuk di ekspor, sehingga pengusahaan dibidang ini akan sangat menjanjikan keuntungan yang besar. Terlebih lagi permintaan pasar akan gaharu semakin meningkat dan akhirnya menyebabkan gaharu semakin banyak diburu oleh orang. Pemungutan gaharu pun menjadi tidak terkendali. Para pemungut gaharu memungut gaharu denga cara sembarangan, mereka menebang pohon tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gaharu pada pohon tersebut. Penebangan pohon gaharu tersebut dilakukan secara besar-besaran pada hutan produksi, konservasi dan hutan lindung, tanpa disertai dengan adanya penanaman. Hal ini berakibat pada semakin menurunnya populasi gaharu. Gaharu semakin langka, sehingga pada tahun 1994 konvensi CITES (Convetion on International Trade in Endanged Species) menetapkan status gaharu menjadi tumbuhan langka dan tercatat sebagai appendiks II yaitu tumbuhan yang harus dibatasi perdagagannya.

Rumusan Masalah
1. Apa penyebab kelangkaan Gaharu ?
2. Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan komoditi gaharu?
3. Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan komoditi Gaharu?


BAB II
PEMBAHASAN
Kelangkaan gaharu tersebut perlu mendapatkan perhatian yang khusus, mengingat pasar gaharu cukup baik dan permintaan pasar semakin meningkat. Sehingga guna menghindari kepunahan gaharu dan agar pemanfaatan gaharu menjadi lestari perlu dilakukan konservasi, baik in-situ maupun ek-situ dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan hanya dilkukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) konservasi. Agar pelestarian gaharu dapat berjalan maka langkah awal yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan identifikasi pada permasalahan yang ada dalam pengembangan riset komoditi gaharu untuk memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan yang ada, sehingga gaharu dapat dilestarikan dan dibudidayakan untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi.
Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000 - 100.000/ml. Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan. Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
Identifikasi masalah tersebut dapat dilakukan pada subsistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulan dan pengamanan), subsistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran) dan subsistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, transportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi) (Siran, Sulistyo dkk, 2010).
A. PERMASALAHAN SUBSISTEM
Permasalahan Pada Subsistem Hulu
Subsistem hulu dalam hal ini mecakup kegiatan silvikultur/teknik budidaya. Teknik budidaya dimaksud meliputi kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan penyakit dan hama. Pengembangan riset gaharu saat ini mulai diarahkan kepada pengembangan gaharu dengan pemberdayaan masyarakat, melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) ataupun hutan tanaman rakyat/hutan rakyat (HTR/HR).
Akan tetapi pada kenyataannya, saat ini masyarakat masih belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya gaharu yang efisien (masih minimnya pengetahuan masyarakat), terlebih lagi banyak masyarakat umum yang belum mengetahui apa yang disebut gaharu, kecuali masyarakat diwilayah sekitar hutan yang sudah pernah terlibat pencarian gaharu. Sehingga kesiapan sumberdaya manusia dalam mendukung proses subsistem ini masih perlu dikembangkan. Sebagai contoh permasalahan pengembangan gaharu di Kabupaten Lombok Barat (Suryandari E, 2008).
Permasalahan Pada Subsistem Tengah

Subsistem tengah dalam hal ini meliputi kegiatan rekayasa pembentukan gaharu mencakup kegiatan penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulan dan pengamanan. Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon tersebut terinfeksi oleh peyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau dammar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi. Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu untuk dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu dilakukan rekayasa dengan inokulasi (penyuntikan jamur dan cendawan) (Siran, Sulistyo dkk, 2010).
Permasalahan yang ada terkait dengan rekayasa inokulan ini adalah metode yang ada sulit diimplementasikan, karena harus mengebor dengan metode tertentu dan menutup perlukaan dengan hati-hati. Selain itu, bahan baku inokulan sulit untuk diperoleh, sehingga petani punya inisiatif untuk memaku tanaman gaharu dengan hasil kualitas gaharu yang kurang baik. Riset kedepan perlu diupayakan untuk mencari metode inokulasi yang mudah dengan kualitas gaharu yang baik. Selain hal tersebut adanya cendawan lain, khususnya cendawan pelapuk kayu, justru dapat mendegradasi kembali resin gaharu yang sudah dideposisi bahkan hingga menghancurkn selnya, sehigga gaharu yang telah terbentuk menjadi hancur dan lapuk, minimal hasil gaharu yang dihasilkan memiliki kualitas yag rendah. Teknologi pengahambat cendawan pelapuk tersebut perlu dikaji dan diupayakan kembali, sehingga dapat diperoleh teknolgi pencegah cendawan pelapuk.
Permasalahan Pada Subsistem Hilir
Permasalahan utama yang terjadi pada subsistem ini adalah mengenai pemasaran dan keterbatasan modal. Penelitian finansial terkait gaharu ini telah banyak dilakukan, dan dari penelitian yang dihasilkan menunjukan angka yang sangat menjanjikan keuntungan dan dapat menarik perhatian investor untuk berinvestasi. Akan tetapi dalam memasarkan gaharu biasanya kemampuan petani terbatas, petani berada di posisi yang lemah dalam menentukan harga.
Petani memiliki akses yang terbatas terhadap informasi pasar terutama mengenai permintaan dan harga, hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang terlibat dalam proses pemasaran, misalnya pedagang pengumpul dihulu lebih banyak jika dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar di kota sehingga kecenderungan untuk menekan harga sangat tinggi, sehingga pemasaran gaharu di Indonesia lebih cocok dikatakan pasar monopsoni, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli baik dalam menentukan harga maupun kualitas gaharu, posisi tawar petani dalam hal ini sangatlah rendah.

 
Mutu produk yang dihasilkan petani pun di bawah standar pasar dan jumlah yang dihasilkan sangat berfluktuasi. Petani belum sadar akan spesifikasi mutu produk dan jarang melakukan pengolahan dan pemilahan hasil untuk meningkatkan kualitas hasil. Sehingga dilapangan sangat sulit utuk menentukan jenis gaharu, standar dan kualitas serta harga yang layak sehingga menguntungkan kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen.
Permasalahan Pada Subsistem Pendukung
Subsistem pendukung dalam hal ini mencakup kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap gaharu saat ini masih terkait dengan  pemanfaatan/pemungutan dan pelaksanaan gaharu secara umum belum dibuat secara spesifik (dapat dibaca pada PP No. 8 Tahun 1999, SK Menhut No. 447/Kpts-II/2003). Peraturan-peraturan tersebut masih sebatas membahas ketentuan-ketentuan bagaimana melakukan pemanenan dan penjualan skala besar, tapi belum ada yang mengarahkan kepada skala kecil. Kebijakan terkait gaharu ini harus didukung oleh semua pihak tidak hanya kementrian kehutanan melainkan pihak lain seperti kementrian perkoperasian (terkait kebijakan perkoperasian), Kementrian Perekonomian terkait dengan pengusahaan dan perkreditan termasuk didalamnya melibatkan perbankkan, Pemerintah Daerah penghasil gaharu, Departemen pedagangan dll.
Kebijakan yang ada harusalah memperhatikan hal sebagai berikut (Anonim, 2011):
a) Pengembangan tanaman gaharu merupakan bagian dari sistem pengolahan hutan yang lestari.
b) Pengembangan tanaman gaharu merupakan upaya pemberdayaan masyarakat petani dalam suatu wilayah yang bertumpu kepada potensi nilai, lokasi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan asset pengalaman, serta kemampuan manajemen kelembagaan.
c) Program pengembangan tanaman gaharu diselenggarakan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan memperoleh manfaat ekonomi.

d) Dalam pengembangan tanaman gaharu diperlukan penanganan yang tepat, adanya kelembagaan yang kuat serta penerapan teknologi yang tepat guna.
e) Kegiatan pengembangan tanaman gaharu dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan hak/milik yang memenuhi persyaratan teknis.
f) Dalam pengembangan tanaman gaharu agar tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan berdaya saing maka terdapat 4 (empat) sub sistem usaha yang perlu mendapat perhatian yaitu sub system hulu yang menyediakan sarana produksi gaharu, pengolahan dan pemanfaatannya, sub sistem hilir yang berkaitan dengan pasca panen, pemasaran/perdagangan serta sub sistem pendukung yang terdiri dari permodalan, litbang, kelembagaan, diklat dan penyuluhan.
B.STANDAR MUTU GAHARU
 Secara umum, kualitas gaharu dapat dikategorikan ke dalam enam kelas mutu, yaitusuper, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan dan masing-masing kualitaskelas diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam beberapa sub-kelas kualitas. Klasifikasi Kriteria
1 Super Gaharu berwarna hitam kelam, dalam, keras, mengkilat, dan sangat harum. Tidak adacampuran dengan kayu fiber lain. Gaharu dalam bentuk potongan atau butiran denganukuran besar, yang bagian dalamnya tidak hollow.
2 Tanggung Gaharu berwarna coklat dan hitam; kelam/dalam dan keras; bagian dalam hollow,kadang-kadang dicampur dengan kayu fiber dan mempunyai ukuran sedang .
3 Kacangan Gaharu an berwarna hitam dan kadang-kadang bercampur dengan warna coklat,dicampur dengan kayu, dan dalam bentuk butiran sebesar kacang dengan diametersekitar 2 mm.
4. Teri Gaharu berwarna hitam yang terkadang bercampur dengan warna coklat, dicampurdengan kayu, dalam bentuk butiran lebih besar dan lebih besar dan lebih tipisdaripada benih kacang, atau berdiameter sekitar 1 mm.
5 Kemedangan Kayu yang mengandung gaharu.
6 Cincangan Bagian kayu yang kecil yang mengandung bagian gaharu.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) No 1386/BSN-I/HK.71 / 09/99, telah ada keputusan tentang Standar Nasional kualitas gaharu dengan judul dan nomor berikut: Gaharu SNI 01-5.009, 1-1999.
Dalam standar ini, ada deskripsi pada definisi gaharu, simbol dan singkatan yangdigunakan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, teknik pemanenan, persyaratan mutu, pengambilansampel, teknik pengujian, persyaratan untuk lulus tes dan persyaratan untuk pelabelan/ menandai.Klasifikasi kualitas gaharu dibagi ke dalam kategori gubal gaharu, kemedangan,dan abugaharu. Setiap kelas kualitas dikategorikan lagi menjadi beberapa subkelasberdasarkan ukuran isi, warna damar wangi, serat, berat dan aroma yang muncul ketikadibakar. Menurut SNI 01-5009.1-1999, artinya gubal gaharu adalah kayu yang berasal daripohon atau , ditandai dengan warna hitam atau kehitaman diselingi dengan warna coklat. Disisi lain, artinya kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau putih keabu-abuansampai kecoklatan, serat kasar dan kayunya lembut. Abu gaharu adalah kayu bubuk yangmerupakan sisa-sisa dari pemisahan kayu gaharu.
Proses pemasaran gaharu di berbagai tempat di Indonesia dimulai dari kegiatan pemanen gaharu yang menjual gaharu mereka dikumpulkan di lapangan untuk mengumpulkan pedagang di desa atau di subdsitrict tersebut. Setelah itu, para pedagangmengumpulkan menjual komoditas untuk pedagang besar (eksportir) di ibukota provinsi.Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun luar negeri, gaharu menjadikomoditas utama dan memberi nilai komersial tinggi, sehingga banyak diburu olehkonsumen. Gaharu sebagai diperdagangkan di Indonesia terdiri dari 3 macam, yaitu gaharuberasal dari Sumatera dan Kalimntan dengan spesies Aquilaria malccensis dan  A.microcrapa ; gaharu dari Papua, Sulawesi, dan Maluku dengan spesies Aquilaria filarial , dangaharu dengan spesies Gyrinops sp. seperti yang dihasilkan banyak di NusaTenggara. Ketika diteliti secara menyeluruh, perdagangan gaharu yang diproduksi secaraalami di Indonesia sejak lama telah menempatkan pijakan lebih lanjut tentang distribusispesies-spesies ekologi gaharu.
Pemasaran gaharu yang menandakan sebagai salah satu cara flora dan faunamenggunakan diatur sesuai dengan Keputusan Pemerintah No 8 tahun 1999 dan KonvensiInternasional tentang Perdagangan Spesies Terancam Punah Flora dan Fauna (CITES). Olehkarena itu, penggunaan gaharu pada umumnya harus mengikuti tahapan dan peraturan,penentuan kuota yaitu, pengadaan dari sifat atau budidaya (pembibitan), transportasi untuk distribusi domestic.

 


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Agar pemanfaatan gaharu menjadi lestari perlu dilakukan konservasi, baik in-situ maupun ek-situ dan budidaya pohon penghasil gaharu.
2. Identifikasi masalah tersebut dapat dilakukan pada subsistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit).
3. Identifikasi masalah tersebut dapat dilakukan pada subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulan dan pengamanan).
4. Identifikasi masalah tersebut dapat dilakukan pada subsistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran) dan subsistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, transportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi).

Saran
Agar pelestarian gaharu dapat berjalan maka langkah awal yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan identifikasi pada permasalahan yang ada dalam pengembangan riset komoditi gaharu untuk memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan yang ada, sehingga gaharu dapat dilestarikan dan dibudidayakan untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi.

DAFTAR  PUSTAKA
Anonim. 2013. Kebijakan Pohon Gaharu. http://www.n4gn.net/index.php?m=detailberita&nid=38&id=gaharu [25 juni 2013].
Siran Sulistyo A dan Juliaty Nina. 2006. Gaharu Komoditi Masa Depan Yang Menjanjikan. Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan Timur.
Siran Sulistyo A dan Turjaman Maman. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Kementrian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Suryandari Elvida Y. 2008. Pengembangan Gaharu Di Kabupaten Lombok Barat: Potensi dan Permasalahan. Jurnail Info Sosial Ekonomi Volume 8 No. 4 Halaman 217-229. Bogor: Kementrian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kehutanan.

1 komentar:

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About