Sabtu, 29 Juni 2013

ANALISIS KOMODITI SUKUN

Posted by Unknown On 23.55 | 1 comment
Oleh   : Elisa Manik
NIM   : 111201058


PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Artocarpus communis (sukun) adalah tumbuhan dari genus Artocarpus dalam famili Moraceae yang banyak terdapat di kawasan tropika seperti Malaysia dan Indonesia. Ketinggian tanaman ini bias mencapai 20 meter (Mustafa, A.M., 1998). Di pulau Jawa tanaman ini dijadikan tanaman budidaya oleh masyarakat. Buahnya terbentuk dari keseluruhan kelopak bunganya, berbentuk bulat atau sedikit bujur dan digunakan sebagai bahan makanan alternatif (Heyne K, 1987). Sukun bukan buah bermusim meskipun bias anya berbunga dan berbuah dua kali setahun. Kulit buahnya berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak berbentuk poligonal. Segmen poligonal ini dapat menentukan tahap kematangan buah sukun (Mustafa, A.M.,1998)
            Sukun tergolong tanaman tropik sejati, tumbuh paling baik di dataran rendah yang panas. Tanaman ini tumbuh baik di daerah basah, tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan ada air tanah dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. Di musim kering, disaat tanaman lain tidak dapat atau merosot produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat. Tidak heran, jika sukun dijadikan sebagai salah satu cadangan pangan nasional. Sukun dapat dijadikan sebagai pangan alternatif karena keberadaannya tidak seiring dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (Pitojo, 1999).
            Sukun dapat dijadikan sebagai pangan alternatif karena keberadaannya tidak seiring dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional. Sukun dapat dipakai sebagai pangan alternatif pada bulan-bulan Januari, Pebruari dan September, dimana pada bulan-bulan tersebut terjadi paceklik padi. Musim panen sukun dua kali setahun. Panen raya bulan Januari - Februari dan panen susulan pada bulan Juli – Agustus (Winarno dkk., 1980).
            Sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 0,048%, kalsium   0,21%,   besi  0,0026%,   kadar   air   61,8%   dan   serat   atau   fiber 2%
(Koswara, 2006).

ANALISIS SUMBERDAYA BUAH SUKUN
Manfaat Ekonomi Buah Sukun
            Buah sukun mengandung niasin, vitamin C, riboflavin, karbohidrat, kalium, thiamin, natrium, kalsium, dan besi (Mustafa, A.M.,1998). Pada kulit kayunya ditemukan senyawa turunan flavanoid yang terprenilasi, yaitu artonol B dan sikloartobilosanton. Kedua senyawa terebut telah diisolasi dan diuji bioaktivitas antimitotiknya pada cdc2 kinase dan cdc25 kinase (Makmur, L., et al., 1999). Kayu yang dihasilkan dari tanaman sukun bersih dan berwarna kuning, baik untuk digergaji menjadi papan kotak, dapat digunakan sebagai bahan bangunan meskipun tidak begitu baik. Kulit kayunya digunakan sebagai salah satu bagian minuman di Ambon kepada wanita setelah melahirkan (Heyne K, 1987). Flavanoid adalah senyawa polifenol yang secara umum mempunyai struktur phenylbenzopyrone (C6-C3-C6). Flavanoid dan derivatnya terbukti memiliki aktivitas biologi yang cukup tinggi sebagai cancer prevention. Berbagai data dari studi laboratorium, investigasi epidemiologi, dan uji klinik pada manusia telah menunjukkan bahwa Flavanoid memberikan efek signifikan sebagai cancer chemoprevention dan pada chemotheraphy (Ren, W., et al., 2003). Buah sukun memiliki kadar gizi yang tinggi. Berikut ini kadar gizi yang terkandung pada buah sukun :
Komposisi kimia dan zat gizi buah sukun per 100 gram buah 
Unsur-unsur
Sukun muda
Sukun masak
Air (g)
87.1
69.1
Kalori (kal)
46
108
Protein (g)
2.0
1.3
Lemak (g)
0.7
0.3
Karbohidrat (g)
9.2
28.2
Kalsium (mg)
59
21
Fosfor (mg)
46
59
Besi (mg)
-
0.4
Vitamin B1 (mg)
0.12
0.12
Vitamin B2 (mg)
0.06
0.06
Vitami C (mg)
21
17
Abu (g)
1.0
0.9
Serat (g)
2.2
-
(Triyono, 2002).
            Melihat banyaknya kandungan gizi yang dimiliki oleh buah sukun ini, menjadikan buah sukun layak sebagai bahan penganti pangan alternatif. Selama ini pengolahan sukun banyak dijadikan sebagai tepung, dan yang paling umum adalah keripik sukun. Buah sukun sebenarnya dapat diolah lagi menjadi berbagai jenis makanan seperti misalnya getuk sukun, klepon sukun, stik sukun, mie sukun, spongecake sukun, tape sukun dan donat sukun.
            Sukun di Indonesia kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk olahan baik digoreng maupun direbus dari buah yang masih mentah. Buah sukun umumnya dikonsumsi setelah digoreng seperti talas dan adakalanya direbus atau dibuat keripik. Di Maluku, buah sukun sering dibakar utuh, kemudian baru dikupas dan dipotong-potong untuk dijadikan kolak, demikian pula yang dilakukan oleh penduduk Tahiti. Diversifikasi produk dari sukun masih sangat terbatas, padahal sukun merupakan salah satu komoditas yang mudah rusak, sehingga harga sukun relatif murah. Keterbatasan pemanfaatan buah sukun di Indonesia disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi sukun. Padahal komoditi ini sangat potensial sebagai usaha menganekaragamkan makanan pokok, terutama penduduk Indonesia yang makanan pokoknya beras. Upaya untuk meningkatkan daya guna  sukun dan nilai ekonominya dapat dilakukan dengan menganekaragamkan jenis produk olahan sukun, untuk itu perlu dikembangkan cara pengolahan lain seperti pembuatan tepung sukun dan pati sukun (Patriono, 2006).

Prospek Kedepan Usaha Buah Sukun 
            Pohon sukun tumbuh baik di daerah basah, tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan ada air tanah dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. Di musim kering, disaat tanaman lain tidak dapat atau merosot produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat. Tidak heran, jika sukun dijadikan sebagai salah satu cadangan pangan nasional. Sukun dapat dijadikan sebagai pangan alternatif karena keberadaannya tidak seiring dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (Pitojo, 1999).
              Pohon sukun merupakan salah satu jenis tanaman yang tepat untuk mengatasi masalah lahan kritis. Setelah diadakan penanaman pohon sukun di beberapa pulau di kepulauan Seribu ternyata cocok dan tumbuh dengan baik. Oleh
karena itu pohon sukun tidak hanya berfungsi sebagai tanaman penghijauan saja, tetapi buahnya pun berguna untuk menambah gizi penduduk. Jadi dengan adanya
usaha untuk menanggulangi lahan kritis, pohon sukun pun berpeluang besar untuk
dikembangkan guna menunjang hal tersebut, karena manfaatnya yang begitu besar
(Kartikawati dan Adinugraha, 2003).
            Untuk memenuhi konsumsi rata - rata penduduk Indonesia per tahun sebesar 123 Kg dan jumlah penduduk Indonesia yang kini lebih dari 200 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,7 % per tahun, pemerintah harus mengimpor beras sebesar 3,7 juta ton pada tahun 2002 dari negara - negara lain seperti Thailand dan Vietnam, sedangkan produksi gabah Indonesia pada tahun 2002 sebesar 51,5 juta ton. Tingkat konsumsi beras di Indonesia selama               ini jauh lebih besar dari yang diproduksi. Berdasarkan kondisi tersebut terlihat bahwa ketergantungan terhadap satu jenis pangan pokok yaitu beras, tidak boleh terus berkelanjutan. Oleh karena itu dalam program pembangunan pertanian    2000 - 2004, diversifikasi pangan merupakan salah satu kegiatan utama Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program tersebut dilakukan melalui peningkatan penganekaragaman bahan pangan dan mutu pangan (Suraningsih, 2004).
            Melihat hal tersebut diatas, buah sukun memiliki prospek yang cerah karena sukun merupakan tnaman yang mudah berproduksi dan dapat dijadikan sebagai bahan pangan subtitusi pengganti beras. Kita ketahui beras merupakan makanan wajib bagi kebanyakan penduduk di Indonesia, jika sukun dapat dijadikan bahan pangan subtitusi untuk penggunaan beras, maka nilai ekonomi yang dihasilkan buah sukun akan besar apabila adanya pengolahan buah sukun yang lebih lanjut, tidak hanya sebagai keripik atau tepung sukun saja.
Pangsa Pasar
            Pengolahan sukun saat ini masih sangat sedikit, padahal kebutuhan kan tepung sukun dipasaran sangat tinggi, karena tepung sukun dapat digunakan sebagai bahan pengganti tepung tapioka. Hal ini seharusnya menjadi tantangan bagi kita untuk dapat membudidayakan buah sukun dan dapat mengolahnya serta mendirikan usaha pembuatan tepung sukun agar produksi tepung sukun menjadi tinggi. Tepung sukun tersebut selanjutnya dapat diolah manjdi berbagai macam produk olahan berbahan baku tepung sukun, seperti spongecake sukun, kue sukun, mie sukun dan juga donat sukun. Seperti pada usaha yang telah dilakukan sekelompok mahasiswa di UGM yang berhasil menuangkan ide kreatifnya untuk membuat olahan sukun menjadi cemilan lezat yaitu Sukrilicious atau donat sukun. Akibat dari ide kreatif sejumlah mahasiswa ini, dapat meningkatkan harga penjualan buah sukun menjadi lebih tinggi (Sulistiono, 2010).
            Hal ini tentunya akan menarik minat banyak pihak, terutama masyarakat perdesaan yang umumnya dekat dengan hutan, untuk dapat membudidayakan buah sukun dan mengolahnya. Di satu sisi hal ini tentunya dapat berdampak kepada kurangya jumlah pengangguran di Indonesia dan dapat meningkatkan kemajuan ekonomi di Indonesia.

Teknologi Pengolahannya
Keripik Sukun
            Untuk produk olahan buah sukun menjadi keripik biasanya masih memakai teknologi tradisional. Pembuatan sukun menjadi keripik biasanya dapat dilakukan pada usaha-usaha rumah tangga dengan cara memakai beberapa pekerja untuk membantu mengupas, mencuci, memotong tipis-tipis, mengoreng, membumbui hingga ke pemasarannya. Teknologi yang lebih lanjut, dapat dilihat dari penggunaan alat pemotong buah sukun, dan adanya pembuatan kemasan sehingga memberi nilai tambah untuk penjualan keripik tersebut karena dipandang lebih kreatif dan indah. Sebagai contoh pada pembuatan keripik sukun yang diusahakan oleh Tati Yulinati, dia menyatakan bahwa pembuatan keripik gongshu, walaupun mudah tetapi cukup makan waktu lama, dalam satu kali produksi Tati dan kawan-kawan mampu membuat 50-100 kemasan ukuran 100 gr dengan harga Rp2.500/kemasan. Caranya, sukun dikukus, dihancurkan, diberi tepung beras, kemudian dicetak. Terakhir sukun digoreng, barulah sukun siap untuk dinikmati. Dengan cara begitu, kita bisa menikmati buah sukun dengan bentuk yang unik dan rasa yang variatif (Rachmawati, 2010).

Tepung Sukun
            Sukun dapat menjadi sumber tepung dengan kandungan mineral dan vitamin yang lebih baik dibanding beras. Proses pengolahannya pun cukup sederhana sehingga dapat dilakukan di pedesaan. Berbagai jenis penganan dapat diolah dari tepung sukun. Teknik pengolahan buah sukun menjadi tepung sukun yaitu melalui tahap pengupasan buah sukun, perajangan, pengukusan, pengeringan, penepungan, dan penyimpanan. Kendala dalam pembuatan tepung sukun adalah terbentuknya warna coklat pada buah saat diolah menjadi tepung. Hal ini disebabkan adanya enzim yang terkandung dalam buah sukun. Untuk menghindari terbentuknya warna coklat, bahan harus diusahakan sedikit mungkin kontak dengan udara dengan cara merendam buah yang telah dikupas dalam air bersih, serta menonaktifkan enzim dengan cara dikukus. Lama pengukusan tergantung pada jumlah bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga mempengaruhi warna tepung. Buah muda menghasilkan tepung sukun yang berwarna putih kecoklatan. Semakin tua buah, semakin putih warna tepung. Tepung sukun yang paling baik dihasilkan dari buah yang dipanen 10 hari sebelum  tingkat ketuaan optimum (Suyanti, dkk. 2001).

Proses Pembuatan Tepung Sukun
Pengupasan
            Proses  pengupasan buah sukun harus dilakukan cepat (menggunakan alat khusus pengupas sukun untuk mencegah terjadinya pencoklatan karena senyawa phenol) dan segera harus direndam dalam air sukun kupas akan terjadi proses oksidasi (kontak dengan udara).
Penyawutan
            Pada proses  penyawutan, hasil sawut harus segera jatuh terendam air dan kemudian dipres untuk mengekuarkan air dan senyawa phenol.

Pengeringan
            Sawut basah hasil pengepresan dikeringkan dengan alt pengering selama 7 jam atau dijemur selama 2 hari pada cuaca cerah, sampai kadar air tinggal 14%.

Mie Sukun
Pengolahan buah sukun yang populer saat ini salah satunya adalah pembuatan mie sukun. Mie sukun dapat dibuat dari sukun kukus yang telah dihancurkan (pasta sukun) atau dari tepung sukun yang dicampur dengan terigu. Pada pembuatan mie diperlukan komponen gluten tinggi, yang terdapat pada terigu, sehingga pada pembuatan mie sukun dicampur dengan terigu. Fungsi terigu adalah membentuk struktur karena gluten bereaksi dengan karbohidrat. Bahan lain dalam pembuatan mie adalah air, garam, soda kue dan telur. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal dari gluten. Fungsi garam adalah untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat sehingga meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Telur berfungsi untuk mempercepat penyerapan air pada terigu, mengembangkan adonan dan mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng. Soda kue berfungsi untuk mempercepat pengembangan adonan, memberikan kemampuan dalam memperbesar adonan serat, mencegah penyerapan minyak dalam penggorengan mie. (Antarlina dan Sudarmadi, 2009)
Cara pembuatan mie yang dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur sangat sederhana, yaitu dengan mencapur tepung sukun/pasta sukun, terigu, telur, garam, soda kue, dan air, hingga terbentuk adonan tertentu selanjutnya dicetak lembaran. Pencetakan lembaran menggunakan alat penggiling mie diulang berkali-kali hingga berbentuk lembaran yang halus. Pada awal penggilingan dimulai dengan ukuran ketebalan yang besar dan makin lama makin tipis. Penggilingan lembaran terakhir disesuaikan dengan ukuran mie. Apabila diinginkan mie yang berdiameter kecil ketebalan lembaran dibuat tipis, dan bila diinginkan mie besar ketebalan lembaran dipertebal. Setelah itu dilakukan pemotongan mie. Mie yang terbentuk dilakukan perebusan, maka dihasilkan       mie      basah,      atau       dikeringkan       menjadi     mie      kering
(Antarlina dan Sudarmadi, 2009)
Mie kering merupakan makanan ringan yang banyak diminati oleh anak-anak. Mie kering juga bisa dibuat menjadi mie basah yang digunakan sebagai bahan pelengkap untuk usaha bakso. Seperti yang kita ketahui bahwa usaha bakso sangat menjamur dimana-mana dan sangat disukai oleh berbagai kalangan, baik anak-anak hingga orang dewasa. Keunggulan mie sukun ini daripada mie yang lainnya adalah kadar gizinya yang tinggi yang dapat mensuplai kebutuhan gizi kita. Mie sukun juga dapat diolah lagi menjadi mie goreng, mie kuah dan berbagai olahan mie lainnya.
Kegemaran orang Indonesia akan mie menjadi usaha untuk mengembangkan potensi ekonomi yang dimiliki sukun. Melihat potensi ekonomi pengolahan sukun menjadi mie sukun ini, membuat sukun sangat berpotensial untuk diolah lebih lanjut dan dijadikan sebagai salah satu usaha yang menjanjikan.

Rekomendasi
            Melihat banyaknya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan buah sukun, ada baiknya jika buah-buah sukun yang ada di seluruh Universitas Sumatera Utara dapat diolah menjadi berbagai produk olahan makanan yang akhirnya dapat dijual dan dapat memberikan tamabahan pemasukan bagi Universitas.
            Untuk dapat mengusahakan buah sukun ini, ada baiknya didirikan sebuah UKM yang bergerak dalam usaha pengolahan produk-produk makanan dari buah sukun. Produk-produk tersebut dapat dijual kepada mahasiswa USU, Dosen, Rumah makan, Swalayan, bahkan dapat didistribusikan ke pasar-pasar tradisional sekitaran USU.

PENUTUP
Sukun dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain sebagai bahan makanan, misalnya tepung sukun, getuk sukun, klepon sukun, stik sukun, keripik sukun, mie sukun dan sebagainya. Olahan buah sukun yang paling berpotensi adalah sebagai bahan makanan, karena memiliki nilai gizi yang tinggi salah satunya kandungan karbohidrat.
Sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 0,048%, kalsium 0,21%, besi 0,0026%, kadar air 61,8% dan serat atau fiber 2% . Karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, maka sukun sangat berpotensi untuk dijadikan bahan pangan pokok alternatif pengganti beras.
Alternatif pengolahan buah sukun yang populer saat ini salah satunya adalah pembuatan mie sukun yang terbuat dari tepung sukun yang dicampur dengan terigu. Mie sukun ini banyak digemari oleh anak-anak. Selain mie basah yang digunakan sebagai bahan pelengkap untuk usaha bakso. Keunggulan mie sukun ini daripada mie yang lainnya adalah kadar gizinya yang tinggi yang dapat mensuplai kebutuhan gizi.
Kegemaran orang Indonesia akan mie menjadi usaha untuk mengembangkan potensi ekonomi yang dimiliki sukun. Melihat potensi ekonomi pengolahan sukun menjadi mie sukun ini, membuat sukun sangat berpotensial untuk diolah lebih lanjut dan dijadikan sebagai salah satu usaha yang menjanjikan.




DAFTAR PUSTAKA
Antarlina dan Sudarmadi. 2009. Mie Sukun Ala BPTP Jatim. BPTP. Jawa Timur.

Departemen Pertanian, 2009, Sukun: Bisakah Menjadi Bahan Baku Produk Pangan, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 31(1): 1-3.

Harsanto, B.P., 1986. Budidaya dan Pengolahan Sukun. Kanisius, Jakarta.

Kartikawati, N. K dan H.A. Adinugraha, 2003. Teknik Persemaian dan Informasi Benih Sukun. Pusat Penelit ian dan Pengem bangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. P urwobinangun. Yogyakarta.

Koswara, S. 2006.  Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. ebookpangan.com.

Pitojo, S. 1999. Budidaya Sukun. Kanisius, Jakarta.

Rachmawati, R.R. 2010. Gongshu Keripik Sukun Penuh Gizi. FP UNPAD. Jatinangor.

Sulistiono. 2010. Yang Sedap Dari Sukun. UGM. Yogyakarta.

Suraningsih, M. S. 2004. Strategi Pengembangan Komoditi sukun dalam Peningkatan Diversifikasi Pangan. MB IPB. Bogor.

Suyanti, S. W. Dan Susmonol. 2001. Teknologi Pengolahan Tepung Sukun dan Pemanfaatannya untuk Berbagai Produk Makanan dan Olahan. BPPP. Jakarta.

Triyono, A. 2002. Teknologi Pengolahan Keripik Sukun. BPM. Jakarta.

Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan.        Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.








Nama  : Lestari Marbun
NIM   : 111201065


BAB I
PENDAHULUAN
Gambaran Umum
Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007). Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas mutu tertinggi (super) adalah lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX II (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).
Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
b. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak.
c. Abu (bubuk) adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
No
Klasifikasi dan kelas mutu
Warna
Kandungan damar 
Aroma
A
A1
 A2
 A3
Gubal Mutu utama (U) setara dengan mutu super Mutu pertama (I) setara dengan mutu AB Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI)
Hitam merata Hitam coklat Hitam kecoklatan
Tinggi Cukup Sedang
Kuat Kuat Agak kuat

B. Kemedangan




B1
Mutu I
Coklat kehitaman
Tinggi
Agak kuat
B2

B3

B4

B5

B6

B7
Mutu II

Mutu III

Mutu IV

Mutu V

Mutu VI

Mutu VII
Coklat bergaris hitam
Coklat bergaris putih
Coklat bergaris putih
Kecoklatan bergaris putih lebar
Putih keabuan garis hitam tipis
Putih keabuan
Cukup

Sedang

Sedang

Sedang

Kurang

Kurang
Agak kuat

Agak kuat

Agak kuat

Kurang kuat

Kurang kuat

Kurang kuat

C

Abu






C1
C2
 C3
Mutu utama (U) Mutu pertama (I) Mutu kedua (II)
Hitam Coklat kehitaman Putih kecoklatan atau kekuningan
Tinggi Sedang Kurang
Kuat Sedang Kurang kuat





Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Gaharu telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Ga11aru yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kirnia berupa resin (a-~ oleoresin). Gaharu bukanlah nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan 8 (delapan) genus yang terd iri dari 17 species pohon penghasil gaharu, yakni Aquilaria (6 species), Wilkstroamia (3 species), Gonystilus (2 species), Gyrinops (2 species), Dalbergia( 1 species), Enkleia (1 species), Excoccaria (1 species), dan Aetoxylon (1 species) (Turjaman, M  dan  Santoso, 2011).
Perubahan paradigma dibidang medis dengan mulai dikembangkannya bahan organik dari tumbuhan (herbal) sebagai obat, menjadikan gaharu semakin dilirik sebagai bahan baku obat-obatan dari tanaman yang sangat potensial. Menurut Tarigan (2004), sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, pemanfaatan gaharu semakin luas. Negara Singapura, Cina, Korea, Jepang, -dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu sebagai bahan obat-obatan antara lain: penghilarg stres, gangguan ginjal, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan ginjal, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker, malaria, dan radang lambung. Menurut ASGARiN (Asosiasi Eksportir Gaharu Indonesia) melaporkan bahwa negara-negara Eropa dan lndia sudah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan tumor dan kanker. Sementara di Papua; secara tradisional; daun, kulit batang dan akar gaharu telah lama dimanfaatkan sebagai obat malaria (Iskandar. 2009).
            Permintaan pasar internasional makin meningkat setiap tahun, dimana pasar gaharu paling besar adalah ke negara-negara Timur Tengah. Kebutuhan impor gaharu di negara-negara Timur Tengah banyak diperoleh dari Sin~apura (70%) dan Indonesia (30%). Sedangkan pasar untuk negara-negara Asia Selatan meliputi Singfpura, Taiwan, Jepang, Malaysia, Hongkong, dan Korea (Salampessy, 2009). Permintaan pasar internasional terhadap gaharu yang semakin tinggi membuat perburuan gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali di Indonesia, sementara tidak semua pohon gaharu bisa menghasilkan gubal gaharu yang bernilai jual tinggi . Minimnya pengetahuan para pemburu gaharu telah mendorong masyarakat melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diikuti upaya penanaman kembali (budidaya). menyebabkan populasi pohon penghasil gaharu telah semakin menurun, sehingga pada konferensi IX di Florida USA tahun 1994, para anggota CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan A. malaccensis dalam Apendix II. Artinya pohon tersebut terancam punah, karena itu perlu adanya pembatasan volume dalam pemanfaatan atau eksploitasi jenis penghasil gaharu. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu 250 ton/tahun.
Namun, sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 (Gun, et.al., 2004). Oleh karena itu upaya konservasi jenis rnaupun genetik pohon penghasil gaharu harus segera dilakukan untuk menghindari hilangnya potensi plasma nutfah . terutama sumber genetik di alam. Penyelamatan sumber genetik perlu dilakukan karena adanya variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang mempengaruhi harga jual di pasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama-tidaknya proses pembentukan gaharu dan variasi genetik pohon penghasil gaharu. Variasi genetic dapat mernpengaruhi respon inang terhadap inokulum, kecepatan pembentukan gaharu
serta kualitas gaharu yang dihasilkan.



BAB II
RUMUSAN MASALAH DAN KEUNGGULAN
Permasalahan
            Gaharu mempunyai nilai ekonomi serta prospek yang sangat cerah pada masa mendatang. Praktek eksploitasi gaharu yang sangat tinggi tanpa diimbangi dengan upaya penanaman kembali serta upaya konservasi (baik jenis maupun genetik) akan menyebabkan pohon penghasil gaharu terancam punah. Demikian pula yang terjadi di pulau Sumatera, sampai saat ini belum diketahui berc:1pa besar potensi, peta sebaran, serta belum dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik gaharu. Dari beberapa jenis pohon penghasil gaharu, diketahui memiliki variasi kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis pohon inang, jenis inokulan, lama tidaknya proses pembentukan gaharu, dan variasi genetik pohon penghasil gaharu                                  (Turjaman, M  dan  Santoso,2011))
            Dari segi pemasaran potensi produk gaharu dapat dikatakan masih belum dapat terkoordinasi dengan maksimal. Pemanfaatan produk masih sekedar bahan mentah berupa gaharu yang menonjol dipasaran. Rendahnya pengetahuan akan pemanfaatan gaharu menyebabkan sangat minim keanekaragaman produk hasil gaharu yang dapat dihasilkan. Petani gaharu memproduksi getah gaharu dengan harga murah walaupun dalam kegiatan pemanenan hingga pemasaran membutuhkan banyak biaya. Hal ini menyebabkan sector pemasaran gaharu menjadi tidak efektif dan efisiein.

1.      Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
2.      Belum adanya mekanisme pasar yang menjamin distribusi secara berkeadilan dan transparan (masih dikuasai pihak-pihak tertentu) sehingga masyarakat belum yakin karena harga dapat dipermainkan, serta payung hukum yang kuat terhadap produk tersebut.
3.      Belum adanya pengawasan dan standarisasi kualitas produk, sehingga harga menjadi sangat subyektif (tergantung selera pembeli)                         (Iskandar, 2009).
Keunggulan
Pohon penghasil gaharu, dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis sehingga hal ini akan memberikan efek yang baik bagi petani gaharu di Indonesia. Padahal dalam pemanfaatan gaharu, ada banyak hasil turunan yang dapat dibuat, bukan hanya gubalnya yang dijual dalam bentuk bahan baku, selain itu gubal gaharu dapat dipergunakan untuk:
1.      Pengharum/pewangi ruangan alami, dengan cara dibakar yang banyak dilakukan oleh Masyarakat di Negara Timur Tengah.
2.      Bahan baku industri parfum, wangian
3.      kosmetik.
4.      Sebagai bahan pembuatan dupa (insence stick).
5.      Sebagai bahan baku pembuatan Kohdoh (untuk acara ritual masyarakat Jepang).
6.      Sebagai bahan baku pembuatan minyak gaharu.
7.      Sebagai bahan baku pembuatan aneka kerajinan gaharu.
8.      Sebagai bahan pembuatan minuman (teh gaharu).
9.      Bahan baku obat-obatan antara lain:
a.       anti asmatik
b.       stimulan kerja saraf
c.        perangsang seks
d.       obat kanker
e.        penghilang stress
f.        obat malaria
g.       anti mikrobia
h.       obat sakit perut
i.         penghilang rasa sakit
j.         obat ginjal
k.       obat lever dan obat diare.
Jika dilihat dari berbagai potensi diatas, sebenarnya Indonesia sangat berpotensi mendapatkan keuntungan yang sebenarnya menjadi sumber devisa Negara. Namun, belum adanya pengaturan yang memudahkan petani dan msayarakat dalam memeberdayakan gaharu tersebut. Sudah dilakukan berbagai penelitian dalam meningkatakan produksi gaharu, sperti adanya teknik inokulasi gaharu yang akan memaksimalkan produksi getah yang bernilai ekonomis (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).

BAB III
PEMBAHASAN
Pembahasan
            Melihat keunggulan yang dimiliki oleh gaharu ada baiknya pengembangan gaharu semakin diperkuat dari sector pemasaran dan produksinya sehingga keuntungan yang didapat oleh masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup dan memberikan devisa bagi Negara.
            Ada beberapa saran dan pendapat yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terdapat dilapangan terhadap pengembangan potensi gaharu, sebagai berikut:
1.      Pendampingan : untuk membina kelompok usaha tani dalam rangka menumbuh kembangkan sikap partisipatif, mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan melakukan usaha. Dalam hal ini diharapkan masayarkat setempat dapat membentuk suatu organisasi dimana dalam organisasi tersebut terjadi komunikasi untuk mengembangkan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil gaharu didampingi penyuluh dari pemerintah atau aktivis.
2.      Pelatihan : pelatihan didasarkan dari hasil identifikasi permasalahan lapangan dan kebutuhan latihan serta tingkat pendidikan dan pemahaman kelompok tani tentang aspek-aspek yang terkait dengan usaha gaharu. Dalam kegiatan pelatihan petani gaharu dapat dipersiapkan untuk mengolah hasil gaharu bukan lagi sekedar bahan baku melainkan barang setengah jadi ataupun barang olahan bernilai ekonomis.
3.      Penyuluhan : penyuluhan dilaksanakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melaksanakan kegiatan usaha secara berkelanjutan. Dalam hal ini pemerintah memberikan arahan untuk mendorong masyarakat setempat melihat potensi besar dari gaharu dan mekanisme dalam memproduksinya.
4.      Bimbingan Teknis meliputi bimbingan teknis perencanaan, budidaya, administrasi kelompok, kerjasama dalam kelompok dan antar kelompok serta aspek kemitraan usaha.
5.      Penguatan Modal : pemberian bantuan modal kelompok melalui skim kredit atau bantuan bergulir dari pemerintah, bank atau manajemen industri dalam bentuk kemitraan. Bantuan bibit telah dilaksanakan tahun 2008 di Basel dan Belitung sekitar 300 ribu batang (Pemprov) dan sekitar 250 ribu (Pemda Bateng). Dalam penguatan modal diharapkan pemerintah dapat juga memberikan bantuan pinjaman dan bantuan praktek pengelolaan kepada masayarakat.
Dalam membantu masyarakat, sebaiknya selain pemerintah diharapkan Agar lembaga-lembaga non departemen dan swasta lebih berperan dalam pengembangan kelembagaan dan penyediaan modal untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu khususnya gaharu. Seperti pernyataan Sumadiwangsa dan Zulnely (1999)  Sebab dalam berbagai kegiatan lembaga non departemen dan swasta dapat memberikan sumbangsih berupa tenaga kerja magang, penyuluh, maupun modal investasi dalam pengembangan kelembagaan. Jadi diharapkan dalam praktek dilapangan masayarakat dapat menjadi bagian dari rencana pengembangan tersebut. Tentunya hal ini akan memberikan dampak saling menguntungkan atau mutualisme bagi kedua belah pihak.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.      Gaharu merupakan hasil hutan yang sangat berpotensi nilai ekonomis bila dikembangkan.
2.      Permassalahan utama gaharu adalah produksi alam yang tidak maksimal dan pemasaran yang masih terpusat.
3.      Penyuluhan, pelatihan, pendampingan dan penguatan modal menjadi alternative dalam memecahkan permasalahan gaharu.
4.      Peran serta dan koordinasi lembaga pemerintah, non-departemen, dan swasta dapat memaksimalkan pemasaran gaharu.
Saran
            Sebaiknya masyarakat dan lembaga pemerintah, non-departemen, serta swasta dapat berkoordinasi dengan baik untuk memudahkan jalur pemasaran gaharu demi meningkatkan nilai ekonomis gaharu.



DAFTAR PUSTAKA
Gun, et.al., 2004. Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Forest Project.
Working paper No. 51. Vietnam. Dalam Sofyan, A.dkk. 2010. Pengembangan Dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu  Sebagai   Bahan    Obat    Di   Sumatera.   Kementerian   Kehutanan   Balai
Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Iskandar. 2009. Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung.
Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].
Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1).
Bogar, 29 April2009.
Sumarna, 2007. Stategi dan Teknik pemasaran Gaharu di Indonesia. Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam - ITTO PO 425/06 Rev.1 (1).
Bogor, 29 April 2009
Turjaman, M  dan  Santoso, E. 2011.  Teknologi  Inokulasi  &  Perkembangannya
Untuk  Menghasilkan  Gubal  Gaharu  Berkualitas  Tinggi.  Pusat  Litbang
Konservasi & Rehabilitasi. Diakses dari http//: 2 Inokulasi Gaharu.pdf.//
Tarigan. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Oepartemen Kehutanan.Ddalam Pengembangan  Hhbk Jenis Gaharu (Aquilaria Malaccensis ) Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kehutanan Bangka Belitung. Diakses dari http//: workshopHHBK09_BaBel. Pdf. Com// [10 juni 2013].

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About